Dalam tradisi Jawa, puasa (topo atau tirakat) bukan sekadar menahan lapar dan dahaga. Ia adalah laku batin, sarana menyucikan diri dari hawa nafsu, dan jalan untuk menyatu dengan kekuatan adikodrati. Puasa menjadi bagian penting dalam ngelmu kasampurnan—ilmu menuju kesempurnaan hidup lahir dan batin.

Tradisi ini sudah mengakar sejak zaman Hindu-Buddha, diteruskan dalam masa Islam, dan tetap hidup dalam budaya Jawa hingga hari ini. Kita akan mengulas jenis-jenis puasa dalam tradisi Jawa, termasuk makna, filosofi, serta tujuan spiritualnya—baik yang populer maupun yang jarang diketahui.

 

Filosofi Puasa dalam Kejawen

Bagi masyarakat Jawa, tubuh bukanlah satu-satunya realitas. Ada dimensi rasa, batin, dan sukma yang juga harus dirawat. Dalam hal ini, puasa menjadi semacam "puasa rasa" yang mendalam: bukan hanya lapar fisik, tapi juga pengekangan terhadap amarah, syahwat, iri, dan keserakahan.

Ungkapan seperti "ngluwihi hawa nepsu, ngasah rasa, ngudi kasampurnan" menjadi pedoman utama dalam praktik puasa Kejawen. Artinya, puasa dilakukan untuk menundukkan hawa nafsu, mengasah kepekaan hati, dan mencari kesempurnaan jiwa.

 

Macam-Macam Puasa dan Laku Tirakat Jawa

Berikut adalah daftar lengkap berbagai bentuk puasa atau laku dalam tradisi Jawa, lengkap dengan maknanya:

 

1. Puasa Mutih

Hanya makan nasi putih dan minum air putih, tanpa garam, lauk, atau bumbu.
Tujuan: Membersihkan diri dari pengaruh duniawi, memperkuat kepekaan batin, dan mengurangi ketergantungan pada kenikmatan rasa.

2. Puasa Ngebleng

Tidak makan, tidak minum, tidak tidur, dan tidak keluar rumah selama 24 jam.
Tujuan: Pembersihan total lahir batin, biasanya dilakukan dalam kondisi krisis spiritual atau pencarian wangsit.

3. Puasa Ngrowot

Hanya makan umbi-umbian, sayur, dan buah. Tidak makan nasi, daging, atau olahan pabrik.
Tujuan: Detoks tubuh dan batin, serta menumbuhkan sifat sabar dan sederhana.

4. Puasa Senin-Kamis

Seperti ajaran Islam, dilakukan setiap hari Senin dan Kamis.
Tujuan: Menjaga kesehatan, memperkuat spiritualitas, dan meningkatkan ketekunan laku ibadah.

5. Puasa Pati Geni

Tidak makan, tidak minum, tidak tidur, tidak bicara, dan berada dalam kegelapan. Tidak ada cahaya api atau listrik.
Tujuan: Laku ekstrem untuk menundukkan ego dan membuka rasa batin yang paling dalam.

6. Puasa Weton

Laku spiritual yang dilakukan bertepatan dengan hari kelahiran seseorang menurut perhitungan weton Jawa, yaitu gabungan hari dan pasaran (misalnya: Rabu Pon, Jumat Kliwon). 
Tujuan: Membersihkan diri dari kesialan, memperkuat daya batin, serta memohon keselamatan dan kelancaran hidup sesuai dengan laku dan garis kelahirannya. 

7. Tapa Bisu 1 Sura

Berjalan keliling benteng keraton tanpa bicara, makan, atau minum.
Tujuan: Refleksi batin, penyucian diri, dan penghormatan terhadap alam dan leluhur.

8. Puasa 40 Hari (Topa Arba’in)

Berpuasa berturut-turut selama 40 hari, biasanya dengan laku tambahan seperti wirid, semedi, atau tapa.
Tujuan: Mendekati laku para nabi atau leluhur, membuka kesadaran spiritual, bahkan meraih “kesaktian”.

9. Laku Ngepel / Nggolong

Puasa hanya dilakukan pada hari-hari tertentu saja—misalnya hari Jumat selama 7 kali, atau Selasa selama 3 kali, tanpa harus berurutan.
Tujuan: Tirakat bertahap. Biasanya ditujukan untuk nazar, memohon jodoh, kelancaran usaha, atau penyembuhan penyakit. Disebut juga laku batin bersambung.

10. Laku Pasa / Upawasa

Upawasa dalam bahasa Sanskerta artinya “berada dekat dengan Tuhan”. Dalam konteks Jawa, ini adalah puasa spiritual penuh yang disertai meditasi, semedi, atau tapa.
Tujuan: Meningkatkan kualitas hubungan batin dengan Sang Pencipta. Biasanya dijalankan oleh kaum spiritualis untuk mengasah rasa sejati dan ngelmu kasunyatan (hakikat hidup).

11. Laku Nglowong

Dilakukan dengan cara menyendiri, tidak makan, tidak minum, tidak bicara, dan tidak keluar rumah selama periode tertentu.
Tujuan: Menciptakan ruang hening total, menjauh dari dunia luar, dan menyatu dengan getaran alam. Laku ini sering dijalani untuk mencari petunjuk (wangsit) atau saat menjalani masa peralihan hidup yang besar.

 

Tujuan Umum Laku Puasa dalam Kejawen

Dari semua bentuk puasa atau laku tirakat tersebut, ada benang merah yang menjadi tujuan utamanya:

1. Pengendalian Diri

Puasa melatih kita untuk eling lan waspada—selalu sadar dan tidak larut dalam keinginan sesaat. Ini menjadi pondasi untuk hidup yang selaras dan tenteram.

2. Pembersihan Batin

Laku ini menolong kita membersihkan sampah pikiran: dendam, iri, ego, dan nafsu duniawi. Batin yang bersih menjadi lebih peka terhadap sinyal kehidupan dan petunjuk Ilahi.

3. Meningkatkan Kepekaan Rasa

Tradisi Jawa meyakini bahwa manusia memiliki rasa sejati—alat untuk berkomunikasi dengan semesta. Laku puasa mengaktifkan kembali kepekaan ini.

4. Membuka Jalan Spiritual

Banyak yang menjalaninya untuk meraih sesuatu: jodoh, rejeki, ketenangan batin, atau bahkan ilmu kasekten. Tapi semuanya harus disertai niat suci dan tanpa pamrih.

5. Menghormati Siklus Kosmis

Laku puasa juga sering diatur berdasarkan kalender Jawa, selaras dengan wuku, pasaran, atau fase bulan. Ini menunjukkan bahwa puasa dalam budaya Jawa tidak sekadar personal, tapi juga kosmik.

 

Puasa: Laku Sunyi yang Penuh Makna

Puasa dalam tradisi Jawa bukan sekadar ritual, melainkan perjalanan sunyi menuju kesadaran yang lebih tinggi. Dalam dunia yang serba cepat dan bising seperti sekarang, laku ini bisa menjadi jalan alternatif untuk menata ulang hidup—lebih eling, lebih sumeleh, lebih seimbang.

Bagi siapa pun yang ingin menyelami kearifan lokal, laku puasa Jawa adalah warisan batin yang masih sangat relevan. Kita tidak perlu menjadi pertapa untuk memulainya. Cukup niat, ketekunan, dan kejujuran pada diri sendiri. Maka puasa akan menjadi cermin jernih bagi jiwa yang rindu pulang pada kesejatian