Jika kamu pernah berkunjung ke Yogyakarta, pasti kamu tidak akan melewatkan yang namanya angkringan. Tempat lesehan sederhana di pinggir jalan dengan gerobak khas dan lampu temaram ini bukan cuma soal makanan murah meriah, tapi juga sarat akan makna dan filosofi hidup ala masyarakat Jawa. Angkringan Jogja bukan hanya identik dengan nasi kucing dan teh hangat, tapi juga menjadi simbol kebersamaan, kesederhanaan, dan budaya rakyat.

 

Apa Itu Angkringan?

Angkringan adalah gerobak makanan kaki lima yang biasanya menjajakan aneka makanan khas seperti nasi kucing, gorengan, sate usus, sate kerang, tempe bacem, dan minuman hangat seperti kopi jos atau teh manis. Nama “angkringan” berasal dari kata “angkring”, yang dalam bahasa Jawa berarti duduk santai atau nongkrong. Filosofi dari angkringan sendiri adalah tempat di mana semua orang bisa duduk bersama menikmati kuliner tanpa memandang status sosial.

Gerobak angkringan biasanya berbentuk sederhana dari kayu, dilengkapi dengan bangku dan tikar untuk lesehan. Biasanya buka dari sore hingga tengah malam, atau bahkan dini hari. Penjual angkringan disebut Pak Le atau Mas Angkringan, dan sering kali menjadi teman ngobrol para pengunjung.

 

Sejarah dan Asal Usul Angkringan Jogja

Meski kini identik dengan Yogyakarta, angkringan sebenarnya berasal dari daerah Surakarta. Tokoh yang disebut sebagai pelopor angkringan adalah Lik Man, seorang perantau dari Klaten yang mulai membuka usaha angkringan di sekitar Stasiun Tugu, Jogja, pada tahun 1950-an. Seiring berjalannya waktu, angkringan mulai menjamur di berbagai sudut kota Jogja dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan malam masyarakat.

Kini, angkringan bisa kita temukan hampir di setiap gang dan sudut kota Yogyakarta, bahkan berkembang ke kota-kota besar lain di Indonesia. Namun, atmosfer yang ditawarkan di Jogja tetap berbeda: lebih hangat, lebih akrab, dan sangat kental dengan nuansa kebersamaan ala budaya Jawa.

 

Filosofi di Balik Angkringan

Angkringan bukan sekadar kuliner jawa khas pinggir jalan. Ada pesan moral dan nilai kehidupan yang terkandung di balik gerobak kecil ini. Konsepnya menyatu dengan falsafah Jawa yang tinggi. Berikut beberapa filosofi penting dari angkringan:

  • Kesederhanaan: Semua tampak sederhana—gerobaknya, menu makanannya, dan cara pelayanannya. Namun itulah keindahannya. Kesederhanaan mampu merangkul siapa saja.
  • Kebersamaan: Tak ada sekat antara orang kaya atau miskin saat duduk bersila di tikar angkringan. Di sini, semua setara.
  • Keakraban Sosial: Angkringan menjadi ruang ngobrol santai, diskusi ringan, hingga curhat. Tempat pelarian dari ritme dunia yang sibuk.
  • Kemandirian: Banyak penjual angkringan adalah pejuang ekonomi mandiri—menghidupi keluarga dari gerobak sederhana, tanpa menggantungkan diri pada perusahaan besar.

Makanan Rakyat untuk Semua Kalangan

Angkringan dikenal sebagai makanannya rakyat. Harga yang murah membuat semua kalangan bisa menikmati makanan di sini, mulai dari mahasiswa, buruh, tukang becak, karyawan kantoran, sampai wisatawan sekalipun. Nasi kucing yang jadi ikon utama angkringan hanya seharga Rp2.000–Rp4.000 saja per bungkus, berisi nasi porsi kecil dengan lauk sambal dan ikan teri atau orek tempe.

Karena itulah, angkringan sering disebut sebagai simbol egalitarian ala masyarakat Jawa. Di sini tidak ada kasta—semuanya membaur menjadi satu, hanya dibedakan oleh siapa yang paling kuat menahan pedasnya sambal terasi!

 

Sensasi Lesehan yang Membumi

Salah satu ciri khas penting angkringan Jogja adalah lesehan. Duduk di tikar yang digelar di trotoar, menyantap makanan kecil ditemani secangkir minuman panas sambil ngobrol, adalah pengalaman otentik yang hanya bisa ditemui di tempat seperti ini.

Budaya lesehan sendiri melambangkan kebersahajaan dan kerendahan hati. Dalam tradisi Jawa, duduk bersila di bawah itu punya filosofi bahwa manusia harus selalu mengingat tanah tempat kita berasal, dan tetap rendah hati meski kadang sudah tinggi jabatan atau ilmu. Di angkringan, lesehan menyatukan semua tanpa hierarki.

 

Minuman Khas Angkringan

Kamu tidak bisa bilang sudah ke angkringan kalau belum mencoba salah satu minuman khasnya: kopi jos. Kopi tubruk yang dicelupkan bara arang ini bukan hanya unik dari sisi penyajian, tapi juga menggambarkan kreativitas dan kesederhanaan masyarakat Jogja. Rasanya? Pahit, sedikit smoky, tapi menggugah semangat!

Selain kopi jos, masih banyak minuman hangat lainnya yang bisa kamu nikmati:

  • Teh Poci (teh manis gula batu dalam teko tanah liat)
  • Susu jahe atau jahe serai hangat
  • Wedang uwuh – wedang rempah dengan warna merah menyala
  • Jeruk hangat dan berbagai minuman sachet yang murah meriah

 

Makin Modern, Tapi Tetap Tradisional

Seiring perkembangan zaman, banyak angkringan bertransformasi menjadi lebih modern. Ada yang mulai menggunakan meja-kursi, menyediakan WiFi, bahkan menerima pembayaran non-tunai. Beberapa sudah mulai masuk ke platform aplikasi pesan-antar makanan.

Meski demikian, esensi angkringan jogja tetap terjaga: menyajikan makanan merakyat dengan cita rasa rumahan yang membumi. Jadi, jangan heran kalau kamu menemukan angkringan di Jogja yang terlihat lebih kekinian tapi tetap menjual nasi kucing dan kopi jos sebagai menu andalan.

 

Kenapa Angkringan Jogja Begitu Istimewa?

Angkringan di Jogja punya daya tarik tersendiri yang sulit ditiru di kota lain. Ada beberapa alasan kenapa angkringan di sini menjadi istimewa:

  • Nuansa kebudayaan: Letaknya yang sering berdekatan dengan pusat budaya seperti Malioboro, Keraton, atau kampus membuat atmosfernya semakin khas.
  • Harga ramah kantong: Cocok buat kantong mahasiswa dan backpacker, tapi tetap bisa bikin perut kenyang dan hati tenang.
  • Kehangatan sosial: Banyak cerita hidup yang lahir dari obrolan di tikar angkringan. Kadang jadi tempat debat filosofis, kadang jadi tempat bercanda tanpa beban.
  • Keramahan penjual: Kamu bisa ngobrol santai dengan penjual tanpa ada rasa canggung. Bahkan kadang bisa ngutang dulu kalau udah kenal baik!

*****

Angkringan bukan sekedar tempat makan. Ia adalah simbol dari jiwa kesederhanaan masyarakat Jawa, tempat berbagai akulturasi sosial terjadi, dan ruang kehidupan yang penuh makna. Istilah “Satu tikar sejuta cerita” rasanya cocok untuk menggambarkan pengalaman menikmati kuliner jawa di angkringan Jogja.

Jadi, lain kali kamu mampir ke Jogja, sempatkan mampir ke salah satu angkringan. Duduk lesehan, pesan nasi kucing dan teh hangat, lalu rasakan sendiri kehangatan yang tak bisa kamu temui di restoran mahal. Karena filosofi angkringan bukan tentang apa yang kamu makan, tapi bagaimana kamu menikmatinya—dengan hati yang sederhana.