Istilah black magic alias ilmu hitam mungkin terdengar menyeramkan di telinga kita. Bayangan tentang santet, teluh, atau guna-guna sering kali langsung muncul begitu kata ini disebutkan. Namun tahukah kamu bahwa praktik serupa black magic telah menjadi bagian dari sejarah dan kebudayaan masyarakat Jawa selama berabad-abad?

Dalam artikel ini, kita akan membahas asal-usul, perkembangan, hingga bagaimana posisi black magic dalam kehidupan masyarakat Jawa dari masa ke masa. 

 

Apa Itu Black Magic dalam Konteks Jawa?

Sebelum membahas lebih jauh, penting untuk memahami dulu apa sebenarnya yang dimaksud dengan black magic.

Dalam konteks global, black magic berarti sihir atau praktik okultisme yang bertujuan negatif—merugikan orang lain, mengendalikan kehendak, atau bahkan mencelakai.

Dalam budaya Jawa, black magic dikenal dengan sebutan-sebutan seperti santet, pelet, teluh, dan guna-guna.

Menariknya, di Jawa tidak semua praktik spiritual dianggap sebagai sesuatu yang jahat. Ada juga yang disebut sebagai ilmu putih, yaitu praktik spiritual yang digunakan untuk kebaikan, seperti pengobatan atau perlindungan dari energi negatif. Jadi, black magic dalam budaya Jawa lebih merujuk pada "ilmu hitam" atau pemanfaatan kekuatan gaib untuk niat buruk.

 

Asal-usul Praktik Black Magic di Jawa

Pengaruh Kepercayaan Animisme dan Dinamisme

Sebelum agama-agama besar seperti Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen masuk ke tanah Jawa, masyarakat setempat sudah lebih dulu memeluk kepercayaan animisme dan dinamisme. Mereka percaya bahwa segala sesuatu di alam memiliki jiwa—mulai dari pohon, batu, sungai, hingga hewan. Dari sinilah lahir berbagai bentuk ritual dan praktik spiritual, termasuk black magic yang dilakukan untuk tujuan tertentu.

Integrasi dengan Agama dan Sistem Kepercayaan Baru

Ketika agama Hindu dan Buddha masuk selama era Kerajaan Mataram Kuno, mereka tidak serta merta menghapus kepercayaan lokal. Justru yang terjadi adalah akulturasi yang unik. Ilmu-ilmu spiritual seperti tapa, meditasi, dan rajah (mantra) diadopsi untuk berbagai tujuan—baik baik maupun buruk. Bahkan beberapa teks kuno seperti Serat Centhini menyebutkan praktik-praktik magis yang tampak menyerupai apa yang kini kita anggap sebagai black magic.

Ketika Islam datang dan menyebar di Jawa, para Wali Songo dan tokoh-tokoh ulama lokal turut beradaptasi dengan pendekatan budaya. Ilmu hikmah, ilmu kebatinan, dan amalan wirid juga mengandung elemen yang bisa bersifat ganda: menjadi positif atau sebaliknya, bergantung pada niat sang pelaku. Maka tidak heran, masyarakat Jawa mengenal konsep ngelmu tidak selalu berkonotasi buruk, meskipun bisa jadi berhubungan dengan black magic.

 

Jenis-Jenis Black Magic dalam Tradisi Jawa

Berikut ini adalah beberapa jenis black magic yang paling dikenal dalam tradisi masyarakat Jawa:

  • Santet: Ilmu gaib yang dikirimkan kepada korban biasanya melalui media seperti boneka, paku, beling, atau jarum yang "masuk" ke tubuh korban. Korban bisa menderita penyakit yang secara medis tidak bisa dijelaskan.
  • Teluh: Hampir mirip seperti santet, namun biasanya dikirimkan melalui makanan, minuman, atau benda yang digunakan oleh korban. Teluh juga lebih dikenal di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
  • Pelet: Ilmu untuk memikat cinta atau mengikat seseorang agar tidak bisa berpaling. Pelet sering disamakan dengan guna-guna, tapi biasanya dikaitkan dengan tujuan percintaan.
  • Guna-Guna: Istilah umum untuk berbagai jenis ilmu hitam yang tujuannya beragam—mulai dari mencelakai, membuat orang gila, sampai mengontrol pikiran orang lain.

 

Black Magic dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Jawa

Takhayul atau Realitas?

Sulit memang memisahkan antara kepercayaan, mitos, dan kenyataan ketika membicarakan black magic. Di satu sisi, masyarakat Jawa dikenal sangat kaya akan simbolisme dan "rasa" (perasaan intuitif). Banyak yang percaya bahwa orang bisa sakit bukan karena virus atau bakteri, tetapi karena ada yang "ngirim" (mengirimkan energi negatif atau santet).

Percaya atau tidak, yang jelas kepercayaan terhadap black magic sangat mempengaruhi dinamika sosial masyarakat. Misalnya, seseorang yang mendadak kaya secara misterius mungkin dicurigai memiliki pesugihan. Sementara orang yang terlalu populer atau dicintai banyak orang mungkin dicurigai menggunakan pelet. Kecurigaan ini tentu bisa berdampak besar pada interaksi sosial dan kepercayaan antarwarga.

Perlindungan Diri dari Black Magic

Untuk menangkal ilmu hitam, masyarakat Jawa memiliki berbagai cara. Beberapa di antaranya adalah:

  • Menggunakan jimat atau ajian tertentu yang dipelajari dari guru spiritual.
  • Menjalankan tirakat atau puasa mutih, ngebleng, atau tapa untuk meningkatkan kekebalan spiritual.
  • Memasang ruwatan, sesaji, atau ritual tolak bala di rumah atau tempat-tempat tertentu.

Yang jelas, pencegahan dianggap lebih baik dibandingkan mengobati. Oleh karena itu, banyak orang Jawa yang sejak muda belajar ngelmu bukan untuk mencelakai orang, tetapi untuk pembentengan diri.

 

Black Magic dalam Kebudayaan Pop dan Cerita Rakyat

Tak dapat dipungkiri, black magic juga telah menjadi bagian dari narasi budaya pop dan folklor Jawa. Kita bisa menemukan referensi tentang ilmu hitam dalam film horor, sinetron, wayang, hingga cerita rakyat seperti legenda Nyai Roro Kidul atau Calon Arang. Bahkan dalam pertunjukan wayang kulit, tokoh-tokoh seperti Durna, Sengkuni, atau Raksasa sering kali digambarkan menggunakan ilmu hitam untuk mengalahkan lawan.

Kesemuanya itu memperkuat posisi black magic sebagai bagian dari imajinasi kolektif masyarakat Jawa, tidak sekadar sebagai sesuatu yang dipercaya, tetapi juga diwariskan melalui cerita, pertunjukan seni, hingga karya sastra.

*****

Black magic di Jawa bukan sekadar praktik gaib yang menyeramkan. Lebih dari itu, ia adalah refleksi dari cara pandang masyarakat Jawa terhadap alam semesta, spiritualitas, dan hubungan antarmanusia. Kepercayaan akan adanya kekuatan yang tidak terlihat (kadang disebut kaib atau ghaib) telah hidup seiring peradaban Jawa itu sendiri.

Meskipun zaman telah berubah dan banyak orang kini lebih rasional dan ilmiah, sebagian masyarakat masih mempercayai keberadaan black magic. Bukan untuk menakut-nakuti, tetapi sebagai bagian dari kearifan lokal yang sebaiknya dipahami, dihargai, dan dilestarikan—tentu bukan dari sisi niat buruknya, melainkan sebagai warisan budaya yang membentuk identitas Nusantara.

Bagaimana menurut kalian? Apakah kalian percaya black magic masih eksis hingga sekarang? Atau kalian lebih memilih penjelasan logis dari segala sesuatu?