Dalam sejarah panjang kebudayaan Jawa, nama Empu Tantular berdiri sebagai salah satu tonggak penting dalam khazanah sastra dan filsafat nusantara. Ia dikenal sebagai penulis Kakawin Sutasoma, karya agung dari abad ke-14 yang tidak hanya mengandung nilai estetika sastra tinggi, tetapi juga menyimpan filosofi kebangsaan yang hingga kini menjadi semboyan resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia: “Bhinneka Tunggal Ika”.

Kita sering mendengar semboyan ini terpampang di lambang negara Garuda Pancasila, namun tak banyak yang tahu bahwa akar kalimat tersebut berasal dari sebuah puisi panjang berbahasa Jawa Kuno yang ditulis oleh Empu Tantular dalam masa pemerintahan Raja Rajasanagara (Hayam Wuruk) dari Majapahit.

Mari kita gali lebih dalam siapa sosok Empu Tantular, apa isi Kakawin Sutasoma, dan bagaimana nilai-nilai yang ia ajarkan menjadi landasan kehidupan berbangsa di Indonesia.

 

Siapakah Empu Tantular?

Empu Tantular adalah seorang pujangga istana Kerajaan Majapahit yang hidup sekitar pertengahan abad ke-14. Nama “Tantular” sendiri merupakan gabungan dari kata “tan” yang berarti “tidak” dan “tular” yang berarti “terpengaruh”, yang dapat dimaknai sebagai seseorang yang teguh pendirian, tidak mudah goyah oleh pengaruh luar. Sikap ini sangat tampak dalam karya-karyanya yang menyerukan toleransi, kebijaksanaan, dan kedamaian di tengah keberagaman keyakinan.

Dalam Kakawin Sutasoma, Empu Tantular menulis bukan hanya sekadar kisah moral atau epik kepahlawanan, tetapi menyisipkan pandangan filosofis yang sangat mendalam tentang kehidupan, keberagaman, dan persatuan. Di sinilah ia mencetuskan kalimat yang kemudian menjadi warisan kebangsaan kita:
"Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa."
Artinya: Berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang mendua.

 

Makna Filosofis “Bhinneka Tunggal Ika”

Frasa ini menyiratkan bahwa walaupun masyarakat Majapahit—dan kini Indonesia—terdiri dari berbagai suku, agama, bahasa, dan adat istiadat, semuanya tetap satu sebagai bagian dari satu kesatuan. Dalam konteks Kakawin Sutasoma, Empu Tantular menyampaikan gagasan bahwa ajaran Buddha dan Siwa sesungguhnya adalah dua jalan menuju kebenaran yang sama.

Salah satu kutipan paling terkenal berbunyi:

“Bhinna ika tunggal ika tan hana dharma mangrwa”
(Terpecah-pecah itu satu adanya, tiada kebenaran yang mendua)

Ini adalah bentuk awal dari gagasan pluralisme yang begitu kuat dalam tradisi Jawa, jauh sebelum istilah itu dikenal dalam dunia akademik modern.

 

Ajaran Toleransi dan Persatuan dalam Kakawin Sutasoma

Dalam narasi Kakawin Sutasoma, sang tokoh utama Sutasoma adalah seorang pangeran yang memilih menjadi pertapa dan menyebarkan ajaran welas asih (karuṇā) kepada semua makhluk. Ia melakukan perjalanan spiritual dan bertemu dengan berbagai tokoh yang melambangkan sifat-sifat seperti nafsu, kemarahan, dan keserakahan, namun semuanya ia hadapi dengan kelembutan hati dan dialog, bukan kekerasan.

Filosofi ini mencerminkan ajaran Kejawen yang mengutamakan keseimbangan batin dan harmoni sosial. Keberagaman bukan dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai kenyataan yang harus diterima dan dipeluk dengan kearifan.

 

Penerapan dalam Kehidupan Berbangsa Indonesia

Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” bukan hanya simbol, tetapi pedoman nyata yang telah membimbing perjalanan Indonesia sebagai negara dengan lebih dari 17.000 pulau, 700 bahasa daerah, dan ratusan kelompok etnis dan kepercayaan.

1. Pancasila sebagai Manifestasi Bhinneka Tunggal Ika

Sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, memungkinkan setiap warga negara memeluk agama masing-masing, tanpa ada pemaksaan. Prinsip ini mencerminkan semangat toleransi ala Empu Tantular—bahwa perbedaan jalan spiritual tidak berarti perpecahan.

2. Undang-Undang dan Jaminan Keberagaman

UUD 1945 menjamin kebebasan beragama dan berserikat. Dalam kehidupan nyata, kita bisa melihat bagaimana keberagaman adat, bahasa, dan sistem sosial tetap dilindungi. Contohnya adalah pengakuan terhadap hukum adat di beberapa daerah serta otonomi khusus bagi wilayah seperti Papua dan Aceh.

3. Forum dan Lembaga Lintas Agama

Dalam semangat “Bhinneka Tunggal Ika”, berbagai forum lintas agama, seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dibentuk di berbagai daerah untuk memastikan kehidupan antarumat tetap rukun. Ini adalah perwujudan konkret dari ajaran Empu Tantular dalam dunia modern.


Relevansi di Masa Kini

Sayangnya, semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” kini kerap hanya menjadi slogan kosong. Polarisasi sosial, politisasi agama, dan intoleransi semakin sering terjadi di ruang publik maupun media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman kita terhadap makna sejati dari semboyan ini masih dangkal.

Budayawan Emha Ainun Nadjib beberapa kali berujar:

“Kalau kita benar-benar paham Bhinneka Tunggal Ika, kita tidak akan ribut soal perbedaan. Kita malah akan belajar dari perbedaan. Akhirnya malah jadi Bhinneka Gagal Ika.”

Itulah tantangan kita hari ini—bagaimana menghidupkan kembali semangat Empu Tantular dalam kehidupan berbangsa. Bukan hanya dengan menghafal semboyan, tetapi menjiwai dan mempraktikkannya dalam tindakan.

 

Menghidupkan Kembali Semangat Kakawin

Banyak nilai dalam Kakawin Sutasoma yang bisa kita adopsi sebagai bagian dari pendidikan karakter. Di sekolah-sekolah, pembelajaran sastra Jawa dan teks-teks kuno bisa menjadi sarana menanamkan nilai toleransi, welas asih, dan kebijaksanaan. Sayangnya, pemahaman terhadap karya sastra seperti ini semakin terpinggirkan.

Berdasarkan data dari Kemdikbud, pembelajaran bahasa dan sastra daerah di sekolah-sekolah mengalami penurunan drastis. Hal ini memperbesar jarak generasi muda dengan akar budayanya sendiri.

 

Warisan yang Harus Dijaga

Empu Tantular tidak hanya meninggalkan karya sastra, tetapi juga warisan nilai-nilai luhur yang mampu menjembatani perbedaan. “Bhinneka Tunggal Ika” bukan sekadar frasa, tetapi sebuah kesadaran hidup. Sebagai bangsa yang majemuk, kita membutuhkan kembali semangat ini dalam membangun Indonesia yang damai dan berkeadaban.

Menjadi tugas kita bersama untuk menjaga warisan ini tetap hidup—melalui pendidikan, praktik sosial, dan keteladanan. Seperti kata Empu Tantular, “Tan hana dharma mangrwa”—tidak ada kebenaran yang mendua. Artinya, jalan menuju persatuan adalah satu: saling menghargai dalam perbedaan.