Dalam tradisi masyarakat Jawa, memilih hari untuk mengadakan hajatan seperti pernikahan, pindahan rumah, atau memulai usaha bukanlah perkara sepele. Kita tidak hanya mempertimbangkan ketersediaan tempat atau kenyamanan tamu, tapi juga memperhitungkan aspek spiritual dan kosmis yang tercantum dalam primbon Jawa. Primbon merupakan kitab warisan leluhur yang memuat hitungan-hitungan hari baik dan buruk berdasarkan siklus pasaran, wuku, windu, hingga pengaruh neptu dan weton seseorang.

Kepercayaan terhadap hari baik dan hari pantangan ini tidak sekadar mitos kosong. Ia menjadi bagian dari upaya orang Jawa dalam menjaga harmoni antara manusia, alam, dan kekuatan gaib. Artikel ini akan mengulas hari-hari yang secara khusus dihindari untuk melaksanakan pernikahan, pindah rumah, hingga memulai usaha baru menurut primbon Jawa, serta alasan di balik larangannya.

 

1. Sirikan Dina (Hari Sirik): Pantangan Utama untuk Pernikahan

Dalam Serat Pawukon dan beberapa naskah primbon lainnya, dikenal istilah dina sirikan atau sirikan dina, yakni hari-hari yang dianggap membawa sial jika digunakan untuk menikah. Hari-hari ini disusun berdasarkan gabungan bulan Jawa dan arah perjalanan calon pengantin.

Contohnya:

  • Bulan Besar, Sura, Sapar → Hindari menikah dengan arah perjalanan mangetan (timur) atau mangilèn (barat daya).

  • Bulan Mulud, Rabingulakir, Jumadilawal → Hindari arah mangalèr (selatan) dan mangetan (timur).

  • Jumadilakir, Rejeb, Ruwah → Sama seperti bulan pertama, arah yang dihindari mangetan dan mangilèn.

  • Pasa, Sawal, Dulkangidah → Sama seperti bulan kedua, hindari mangalèr dan mangetan.

Makna simboliknya: arah perjalanan ini tidak hanya secara fisik, tapi juga secara spiritual. Jika bertentangan dengan “getaran kosmis” pada bulan tersebut, dipercaya akan membawa kesialan rumah tangga seperti perselisihan, penyakit, atau kematian dini.

 

2. Dina Ala (Hari Sial dalam Setahun)

Selain memperhatikan bulan dan arah, ada pula daftar hari yang secara umum dianggap ala (buruk) dalam satu tahun Jawa. Larangan ini bersifat tetap dan diwariskan secara turun-temurun. Berikut beberapa contohnya:

  • Bulan Jumadilakir, Rejeb, Ruwah → Dihindari hari Jumungah (Jumat).

  • Bulan Pasa, Sawal, Dulkangidah → Dihindari hari Sêtu (Sabtu) dan Ngahad (Minggu).

  • Bulan Besar, Sura, Sapar → Dihindari hari Sênên (Senin) dan Slasa (Selasa).

Mengadakan hajatan di hari-hari tersebut dipercaya akan mengundang marabahaya seperti gangguan makhluk halus, kecelakaan, atau kerugian besar. Maka, tak jarang orang tua zaman dahulu sangat berhati-hati memilih hari untuk pernikahan dan pindahan.

 

3. Pantangan Hari Menurut Weton dan Wuku

Primbon juga mengenal perhitungan weton dan wuku. Weton adalah gabungan antara hari (Senin–Minggu) dan pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon). Sedangkan wuku adalah siklus mingguan dalam kalender Jawa yang berjumlah 30 minggu (1 wuku = 7 hari).

Beberapa wuku yang dianggap tidak baik untuk menikah atau memulai usaha:

  • Wuku Landep → dipercaya bisa menajamkan konflik, membawa ketegangan dalam rumah tangga.

  • Wuku Wugu → dikaitkan dengan energi penyakit dan kemunduran rezeki.

  • Wuku Wayang → banyak yang menghindari karena dipercaya berkaitan dengan ilusi dan godaan.

Sementara itu, jika weton calon pengantin bertabrakan atau menghasilkan jumlah neptu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, maka bisa menimbulkan “tunggakan” yang mengharuskan ritual tolak bala sebelum melangsungkan pernikahan.

 

4. Dina Sengkala dan Dina Pegat

Beberapa kitab primbon juga menyebutkan hari-hari yang mengandung sengkala (pertanda buruk) atau pegat (pisah). Hari-hari ini, jika digunakan untuk menikah, konon akan memperbesar risiko perceraian atau perpisahan dalam rumah tangga.

Contoh sengkala pernikahan:

  • Weton pengantin menghasilkan neptu 13, 21, atau 25 → dipercaya membawa sengkala pegat, rumah tangga akan sering ribut, bahkan bisa cerai.

  • Hari pasaran Jumat Kliwon → dikenal sebagai hari “bertemunya dua kekuatan besar”, bisa membawa benturan energi negatif.

 

5. Larangan Hajatan saat Wulan Asipat dan Wulan Mati

Dalam kepercayaan Jawa, dikenal istilah wulan asipat dan wulan mati. Wulan asipat adalah bulan di mana energi spiritualnya cenderung berubah-ubah, seperti bulan Sura dan Rejeb. Sedangkan wulan mati adalah bulan di mana banyak arwah berkeliaran dan energi alam sedang surut, misalnya bulan Ruwah.

Melangsungkan pernikahan di bulan ini seringkali dihindari karena:

  • Sura → bulan awal tahun Jawa, penuh ritual spiritual, waktu menyepi dan instrospeksi, bukan untuk pesta.

  • Ruwah → waktu kirim doa untuk leluhur (ruwahan), dianggap kurang pantas untuk hajatan besar.

Namun, jika tetap ingin menikah pada bulan-bulan ini, biasanya dilakukan ritual khusus seperti slametan tolak bala dan puji-pujian.

 

6. Ruwatan dan Penyucian: Solusi Jika Terpaksa Menikah di Hari Buruk

Dalam kehidupan modern, tak jarang kita dihadapkan pada situasi di mana hari baik sulit dicari atau terlalu jauh jaraknya. Maka dari itu, masyarakat Jawa menyediakan “jalan keluar” berupa ruwatan dan penyucian.

Ruwatan dilakukan untuk membuang sengkala atau energi buruk, biasanya dengan cara:

  • Mengundang sesepuh atau rohaniawan untuk membacakan doa-doa khusus.

  • Mengadakan slametan kecil sehari sebelum hari H.

  • Membagikan makanan kepada tetangga atau anak yatim (sedekah tolak bala).

Hal ini menunjukkan bahwa fleksibilitas dalam budaya Jawa tetap ada, asalkan niat dijaga dan harmoni tetap menjadi tujuan utama.

 

Menjaga Harmoni dalam Laku Hidup Jawa

Percaya atau tidaknya kita pada hari-hari pantangan menurut primbon Jawa, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah semangat utama dari tradisi ini: menjaga keselarasan. Bukan hanya antara manusia dengan sesama, tapi juga dengan alam, waktu, dan kekuatan spiritual di luar nalar kita.

Memilih hari baik bukan soal mistik semata, tapi bentuk ikhtiar untuk menata hidup dengan tata krama, rasa hormat pada waktu, dan menjaga keseimbangan energi yang sudah sejak dulu diyakini oleh para leluhur.

Dalam setiap perhitungan hari, terdapat pesan bahwa hidup yang harmonis dibangun dari ketepatan waktu, kesiapan batin, dan niat yang lurus.

Sebagaimana tertulis dalam pitutur Jawa:

“Aja mung mikir pengarep-arep, nanging kudu ngerti nimbang wektu.”
(Jangan hanya berpikir tentang harapan, tapi harus tahu mempertimbangkan waktu.)

Semoga kita semua diberi kelancaran dalam setiap hajatan hidup, dengan berkah dari leluhur dan restu semesta.