Tradisi mitoni merupakan salah satu momen penting dalam kehidupan wanita hamil. Di tengah-tengah prosesi yang sarat makna itu, terdapat kehadiran jenang mitoni—sebuah makanan adat yang tak hanya memanjakan lidah tetapi juga mengandung doa dan harapan untuk sang jabang bayi.
Jika kamu pernah mengikuti prosesi mitoni, kamu pasti tidak asing dengan berbagai jenis jenang yang tersaji. Tapi, tahukah kamu bahwa setiap jenis jenang dalam ritual ini memiliki makna filosofis? Yuk, kita kupas manisnya jenang dalam mitoni seperti menggali makna cinta kasih orang tua kepada buah hatinya.
Apa Itu Mitoni?
Mitoni atau sering disebut juga tingkeban adalah salah satu tradisi Jawa yang biasanya dilakukan ketika usia kehamilan menginjak tujuh bulan. Kata ‘mitoni’ berasal dari kata ‘pitu’ yang berarti tujuh. Adat ini tidak hanya sebagai ungkapan rasa syukur, tetapi juga sarana memanjatkan doa agar bayi dan ibunya diberi keselamatan sampai proses persalinan nanti.
Prosesi mitoni biasanya dilakukan dengan serangkaian ritual seperti siraman, mengenakan kain batik khusus, melakukan doa bersama, hingga menyajikan kuliner ritual yang sarat akan makna. Salah satu yang paling menonjol dalam prosesi ini adalah sajian jenang mitoni.
Kenalan dengan Jenang: Makanan Adat Penuh Makna
Di dalam tradisi Jawa, jenang bukan sekadar makanan. Ia adalah simbol, media doa, dan bentuk cinta. Teksturnya yang lembut dan rasanya yang legit menjadi lambang kesejahteraan dan kebahagiaan sebuah keluarga.
Pada acara mitoni, tidak hanya satu jenis jenang yang disajikan, melainkan beberapa jenis dengan warna dan rasa yang berbeda. Setiap jenis jenang menggambarkan harapan, nasihat, hingga filosofi hidup yang hendak diwariskan kepada bayi yang masih dalam kandungan.
Makna Filosofis Jenang dalam Mitoni
Setidaknya ada lima jenis jenang yang umum disajikan dalam prosesi mitoni. Berikut ini daftarnya beserta maknanya:
- Jenang abang (merah): Warna merah melambangkan keberanian dan kekuatan. Jenang ini berfungsi sebagai doa agar si bayi kelak tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan tidak mudah menyerah.
- Jenang putih: Warna putih menyimbolkan kesucian dan kebersihan hati. Harapan orang tua agar si kecil memiliki hati yang jernih dan budi pekerti yang luhur.
- Jenang sumsum: Biasanya berwarna putih dengan kuah gula merah yang manis dan sedikit gurih. Jenang ini menjadi simbol keharmonisan dalam keluarga serta lambang kasih sayang orang tua terhadap anaknya.
- Jenang grendul: Berisi bulatan ketan atau ubi yang melambangkan persatuan dan kekompakan. Harapannya, keluarga senantiasa rukun dan saling mendukung.
- Jenang baro-baro: Jenis jenang dengan potongan daun pandan atau wanginya yang khas—melambangkan semerbaknya nama baik sang anak di masa depan.
Semua jenang ini biasanya disusun di dalam tampah berbentuk lingkaran yang juga bermakna keutuhan dan kesatuan keluarga. Sang ibu akan mencicipi satu per satu jenang tersebut sebagai bagian dari prosesi doa dalam mitoni.
Kuliner Ritual Sebagai Wujud Rasa Syukur
Lebih dari Sekadar Makanan
Sudah jadi rahasia umum bahwa dalam tradisi Jawa, makanan bukan hanya sebagai pengisi perut. Banyak jenis kuliner ritual yang dibuat dengan niat, doa, dan simbolisme. Dalam mitoni, keberadaan jenang tidak hanya sekadar menjamu tamu atau pelengkap acara, namun juga sebagai ‘doa’ yang bisa dinikmati oleh indera rasa.
Setiap sendok jenang yang dibuat melibatkan harapan, cinta, dan ketulusan. Bahkan dalam proses pembuatannya pun, sang ibu tidak diperkenankan membuat jenang sendiri. Biasanya para sesepuh, ibu atau mertua sang ibu hamil yang akan mempersiapkannya, sebagai bentuk kerukunan dan penghormatan dalam keluarga.
Proses Pembuatan yang Penuh Makna
Membuat jenang untuk mitoni tidak seperti memasak sehari-hari. Bahan-bahan yang digunakan dipilih yang terbaik: beras ketan, santan yang segar, gula merah pilihan, dan tentu saja niat tulus dari si pembuat. Bahkan alat-alat seperti wajan, sendok kayu, dan tungku, kadang menjadi bagian dari kesakralan proses pembuatan.
Saat jenang diaduk dalam wajan besar, para ibu sering sambil melantunkan doa atau tembang Jawa. Suasana ini menjadikan acara mitoni terasa sangat sakral sekaligus penuh kehangatan kekeluargaan.
Melestarikan Tradisi Lewat Rasa
Di era modern seperti sekarang, banyak dari kita yang kadang melupakan atau bahkan tidak tahu tentang tradisi-tradisi seperti mitoni ini. Namun menariknya, banyak juga generasi muda yang mulai tertarik untuk memahami kembali akar budaya mereka, termasuk lewat makanan adat seperti jenang mitoni.
Melestarikan tradisi tidak selalu harus dengan mengikuti semuanya secara harafiah. Kita bisa memulainya dengan mengenali makna di balik setiap prosesi dan menjadikannya inspirasi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, menyajikan jenang saat ada perayaan keluarga atau mengangkat kuliner ritual dalam sajian modern yang bisa dikenalkan pada anak-anak.
Dengan cara ini, tradisi Jawa tidak akan punah begitu saja, melainkan terus hidup dan tumbuh bersama zaman—tentu saja dengan tetap menjaga nilai dan makna aslinya.
*****
Jenang dalam mitoni bukan hanya makanan, melainkan nasihat, doa, dan simbol cinta yang manis—manis seperti harapan orang tua terhadap anaknya yang sedang tumbuh dalam kandungan. Melalui kuliner ritual ini, kita belajar bahwa makanan bisa menjadi media harapan dan komunikasi antar generasi.
Jadi, saat kamu melihat atau mencicipi jenang mitoni di suatu acara, jangan hanya menikmati rasanya saja. Pahami juga makna di baliknya: keberanian, kesucian, keharmonisan, persatuan, dan nama baik. Lima cita rasa berbeda, satu harapan yang sama: masa depan yang cerah untuk sang buah hati.
Selamat melestarikan warisan budaya—lewat rasa, doa, dan cinta.