Jika kamu dibesarkan di masyarakat Jawa atau pernah tinggal di Jawa dalam waktu yang cukup lama, besar kemungkinan kamu pernah mencicipi sayur lodeh. Masakan ini sering tampil sederhana, namun justru dari kesederhanaannya itulah muncul kehangatan khas rumah. Namun, siapa sangka kalau di balik gurihnya kuah santan dan kelembutan isian sayurannya, sayur lodeh menyimpan banyak makna, baik spiritual maupun budaya. Sebagai kuliner Jawa, lodeh bagaikan jendela yang menghubungkan makanan dan filosofi hidup masyarakat Jawa.
Apa Itu Sayur Lodeh?
Sayur lodeh merupakan makanan tradisional khas Jawa yang berkuah santan dengan kombinasi berbagai macam sayuran. Biasanya, bahan yang digunakan antara lain terong, nangka muda (tewel), kacang panjang, labu siam, tahu, tempe, dan cabai. Bumbu utamanya adalah bawang merah, bawang putih, lengkuas, daun salam, dan tentunya santan yang menjadikan kuahnya gurih dan sedikit kental.
Lodeh sangat fleksibel. Setiap rumah tangga bisa punya "versi" lodeh masing-masing. Ada yang menggunakan santan putih, ada yang menggunakan santan kemerahan karena tambahan cabai atau tomat. Ada yang kuahnya encer, ada yang kental. Apapun bentuknya, lodeh tetap menjadi hidangan yang menghangatkan tubuh dan hati, apalagi di saat musim hujan tiba.
Lodeh dalam Kehidupan Sehari-Hari Orang Jawa
Bagi masyarakat Jawa, lodeh tidak hanya sekadar hidangan sehari-hari. Ia sering disajikan dalam berbagai peristiwa penting seperti kenduri, selamatan, atau saat sedang melakukan ritual tolak bala. Bahkan, pada masa dahulu, ketika masyarakat akan menghadapi bencana atau wabah, para tetua kampung sering mengajak warganya untuk memasak sayur lodeh bersama, lalu dibagikan ke tetangga sebagai syarat ruwatan.
Lodeh sebagai simbol keseimbangan
Dalam masyarakat Jawa, kehidupan dianggap sebagai perpaduan antara unsur panas (kebaikan) dan dingin (kejahatan). Sayur lodeh, dengan komposisi bahan-bahannya yang seimbang—antara sayuran segar dan santan yang gurih—melambangkan pentingnya keseimbangan dalam hidup.
Filosofi "receh" nan mendalam
Bicara soal sayur lodeh memang sering dianggap remeh oleh sebagian orang, karena tampilannya yang sederhana dan mudah didapat. Tapi justru dari sanalah muncul falsafah hidup ala masyarakat Jawa: kebahagiaan tidak perlu megah, cukup dengan hal kecil yang membawa keberkahan. Jadi, filosofi hidup orang Jawa tercermin dari dapur mereka—salah satunya melalui lodeh.
Simbolisme di Balik Bahan-Bahan Lodeh
Setiap bahan yang digunakan dalam sayur lodeh ternyata bukan sekadar pelengkap rasa. Ada makna simbolis yang tersembunyi di dalamnya. Mari kita bahas beberapa bahan utama dan maknanya menurut kepercayaan Jawa:
- Tewel (Nangka Muda): Melambangkan masa depan atau sesuatu yang belum matang, sebagai harapan akan datangnya kebaikan.
- Kacang Panjang: Simbol dari umur panjang dan keberkahan hidup yang terus mengalir.
- Terong: Menandakan kerendahan hati dan sifat menerima keadaan. Terong menyerap rasa kuah, seperti manusia yang harus pandai menyesuaikan diri.
- Tempe dan Tahu: Produk fermentasi sebagai simbol pengetahuan dan ketekunan, serta kemandirian ekonomi rakyat kecil.
- Cabai atau Lombok: Mewakili semangat dan keberanian dalam menghadapi pahit dan pedasnya kehidupan.
Jadi, ketika seorang ibu rumah tangga Jawa memasak sayur lodeh, sebenarnya ia sedang menuangkan harapan dan doa melalui setiap irisan dan racikannya. Betapa dalamnya budaya dan cara pandang masyarakat Jawa, ya?
Lodeh dalam Upacara Adat dan Tradisi
Tak hanya di meja makan, lodeh juga punya peran penting dalam upacara dan budaya tradisional Jawa. Dalam ritual slametan—upacara syukuran dan tolak bala—sayur lodeh hampir selalu dihadirkan. Biasanya, lodeh disajikan bersama nasi tumpeng, ayam ingkung, telur rebus, dan sambal. Makanan-makanan ini dipercaya sebagai media untuk menyampaikan niat dan harapan kepada Sang Pencipta atau kepada leluhur.
Lodeh sebagai penolak bala
Dalam kepercayaan masyarakat kuno di kawasan Jawa Tengah dan Yogyakarta, ada istilah "Lodeh Sawiji" atau "Lodeh Tujuh Rupa". Ini adalah lodeh khusus yang dimasak dengan ketentuan tertentu dan hanya menggunakan sayuran tertentu. Biasanya dibuat saat terjadi gejala alam yang dianggap sebagai pertanda buruk, seperti gerhana matahari, banjir besar, atau merebaknya wabah penyakit. Lodeh ini dianggap sebagai media untuk menolak bala dan memohon keselamatan bagi keluarga dan masyarakat sekitar. Saat pandemi COVID-19, sempat beredar pesan berantai melalui WhatsApp berisi intruksi Sultan Yogyakarta untuk memasak lodeh.
Lodeh Modern: Masihkah Sarat Makna?
Di era modern ini, banyak masakan tradisional yang mulai tergeser oleh makanan cepat saji atau kuliner asing. Tapi lodeh tetap memiliki tempat istimewa di hati masyarakat Jawa. Terlepas dari versinya—baik itu versi restoran atau versi warteg pinggiran jalan—sayur lodeh tetap memberikan rasa hangat yang tak lekang oleh waktu.
Bahkan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya, banyak rumah makan yang menyajikan lodeh sebagai bagian dari menu khas Jawa. Beberapa inovasi pun bermunculan, seperti lodeh vegan, lodeh tanpa santan untuk alasan kesehatan, hingga lodeh yang dikombinasikan dengan seafood atau topping kekinian. Inilah bukti bahwa tradisi bisa terus hidup dengan menyesuaikan zaman, tanpa kehilangan ruh aslinya.
Lodeh dan Refleksi Filosofi Hidup Jawa
Masyarakat Jawa mengenal prinsip hidup yang disebut "nrimo ing pandum" atau menerima dengan ikhlas terhadap apa yang dianugerahkan oleh Tuhan. Prinsip ini tercermin jelas dalam sayur lodeh: masakan sederhana yang dibuat dari bahan apapun yang ada di dapur, namun tetap kaya rasa dan gizi. Ini mengajarkan bahwa kita tak selalu harus mengejar sesuatu yang tinggi, tetapi mensyukuri apa yang ada di hadapan kita.
Lodeh juga mengajarkan prinsip "temahan" atau keharmonisan. Seperti sayur lodeh yang menyatukan berbagai sayuran menjadi satu kesatuan rasa, manusia pun diajak untuk hidup guyup, rukun, dan saling melengkapi. Masing-masing punya rasa dan peran, tetapi jika disatukan dengan bumbu yang tepat (yaitu nilai-nilai kebaikan), maka dunia akan terasa lebih lezat dan damai.
*****
Sayur lodeh memang bukan masakan yang bisa membuat kagum dengan penampilan mewah. Namun justru dari sanalah letak kemuliaannya. Dalam dunia kuliner Jawa, lodeh adalah simbol keikhlasan, kebersamaan, dan ketenangan batin. Ia seperti sahabat lama yang selalu ada di dapur, menyambut kita dengan aroma santan yang gurih dan rasa yang hangat.
Jadi, kapan terakhir kali kamu menikmati sepiring lodeh? Mungkin saatnya kembali memasak masakan rumahan ini, dan meresapi kembali filosofi hidup yang lama terkubur dalam kesederhanaannya. Karena terkadang, pelajaran paling berharga datang dari dapur—bukan dari meja belajar.