Kalau kita bicara tentang kebudayaan Jawa, salah satu hal yang nggak bisa dilepaskan adalah tata krama dan cara orang Jawa memposisikan dirinya dalam masyarakat. Nah, salah satu bagian penting dari tata krama ini muncul dalam konsep ngadi salira dan ngadi busana. Kedua istilah ini seringkali terdengar dalam pepatah dan nasihat orang tua, tapi sayangnya sekarang mulai jarang dipahami secara mendalam.

Ngomong-ngomong, kamu pernah dibilang sama eyang atau orang tua waktu kecil, “Aja sembrono nganggo klambi, kudu bisa ngadi salira lan ngadi busana”? Nah, itulah yang akan kita bahas lebih dalam dalam artikel ini. Santai aja bacanya, tapi siapa tahu bisa jadi pengingat atau pelajaran berharga untuk menjaga etika dan adat dalam berpenampilan sehari-hari.

 

Apa Itu Ngadi Salira dan Ngadi Busana?

Makna Ngadi Salira

Ngadi salira secara harfiah bisa diartikan sebagai “merawat diri” atau “membangun diri”. Dalam konteks budaya Jawa, maknanya lebih luas. Ini mencakup bagaimana seseorang menjaga kebersihan tubuh, kesehatan, sopan santun, dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Ngadi salira adalah bentuk penghormatan terhadap diri sendiri dan juga orang lain.

Orang Jawa percaya bahwa sebelum mengatur cara berpakaian (ngadi busana), seseorang harus mampu merawat dan mengenali dirinya sendiri dulu. Percuma pakai baju bagus kalau sikapnya kasar, kata orang tua dulu. Jadi ngadi salira lebih kepada inner beauty versi Jawa.

Makna Ngadi Busana

Nah, kalau ngadi busana lebih kepada cara seseorang memilih pakaian – bukan hanya soal selera fashion, tapi juga kesesuaian dengan tempat, waktu, dan situasi sosial. Berpakaian itu nggak asal necis atau trendi saja, tapi juga harus mencerminkan rasa hormat, kesopanan, serta status budaya seseorang.

Contohnya, orang Jawa dulu sangat mempertimbangkan jenis pakaian yang dipakai saat menghadiri acara hajatan, upacara adat, ataupun sekadar silaturahmi. Bahkan dalam acara berkabung pun, pakaian harus mencerminkan suasana duka. Hal ini adalah wujud dari tata krama atau etika Jawa yang halus dan penuh pertimbangan.

 

Etika Jawa dalam Berpakaian

Dalam budaya Jawa, tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan. Segalanya diatur dengan pertimbangan harmoni dan keselarasan. Begitu pula dalam berpakaian. Etika Jawa dalam berbusana mencerminkan kesadaran sosial seseorang – alias tahu diri dan tahu tempat.

1. Kesesuaian Tempat dan Waktu

Orang Jawa sangat memperhatikan di mana dan kapan mereka berpakaian. Pakaian yang dikenakan saat ke sawah pasti beda dengan pakaian saat ke pesta pernikahan. Prinsip “aja nganti keblinger” jadi panduan utama. Jangan sampai menonjol tanpa alasan, tapi juga jangan asal-asalan.

  • Kondangan: Biasanya pria mengenakan beskap atau batik lengan panjang, sedangkan perempuan mengenakan kebaya atau pakaian rapi sejenisnya.
  • Berkabung: Pakaian hitam atau gelap, tidak mencolok, sebagai bentuk penghormatan pada yang meninggal.
  • Keseharian: Meski santai, tetap menjaga kerapian. Pakai daster pun dilihat apakah pantas dikenakan keluar rumah atau hanya di dalam rumah.

2. Kesopanan Sebagai Nilai Utama

Ngadi busana bukanlah perkara gaya, tetapi soal sopan santun. Pakaian dianggap cermin dari watak seseorang. Maka tidak heran jika orang tua Jawa sering menasihati anak-anaknya untuk tidak berpakaian sembarangan. Misalnya, jangan pakai celana pendek saat bertamu, atau jaket lusuh ke acara penting.

Nilai sopan ini juga berlaku dalam hal memilih warna, motif, hingga bahan pakaian. Warna-warna terang dipilih untuk suasana ceria, sementara warna gelap cocok untuk acara formal atau berkabung.

3. Harmoni Antara Dalam dan Luar

Ini yang sering diabaikan oleh generasi sekarang: penampilan luar harus selaras dengan hati dan perilaku. Dalam bahasa Jawa: “Rogo kuwoso manunggaling jiwo lan busono.” Artinya, tubuh, jiwa, dan penampilan seharusnya menjadi satu kesatuan yang harmonis.

Kalau seseorang sudah bisa menjalankan ngadi salira—merawat diri, tahu sopan santun, dan tahu posisi dalam masyarakat—otomatis ngadi busana-nya juga akan mencerminkan hal itu.

 

Ngadi Salira dan Ngadi Busana di Era Modern

Mungkin kamu bertanya-tanya, apakah konsep ini masih relevan di zaman sekarang? Bukankah sekarang kita hidup di era kebebasan berekspresi? Jawabannya—sangat relevan. Justru di era modern ini, ketika semua serba cepat dan instan, kita perlu pegangan nilai-nilai seperti dalam ngadi salira dan ngadi busana.

Etika Jawa bukan untuk membatasi kita, tetapi untuk menjaga agar kita tetap punya rasa hormat, tahu sopan santun dan tahu tempat. Dan salah satu cara paling sederhana menunjukkan itu adalah dari cara kita berpakaian.

Contoh Penerapan di Kehidupan Sehari-Hari

Biar lebih mudah, berikut ini beberapa contoh bagaimana kita bisa menerapkan prinsip ngadi salira dan ngadi busana di kehidupan sehari-hari:

  • Ke kantor: Berpakaian rapi, wangi, dan sopan. Tidak harus bermerek mahal, tapi bersih dan proporsional.
  • Bertamu ke rumah orang: Hindari pakaian terlalu kasual atau terbuka. Tunjukkan rasa hormat melalui pilihan busana.
  • Aktivitas online: Bahkan saat video call atau kerja remot, pastikan penampilan tetap rapi. Ini juga bagian dari ngadi salira-busana secara digital.

Bukan Soal Tradisional vs Modern

Beberapa orang mungkin menganggap etika Jawa seperti ini terlalu kaku atau kuno. Tapi sebenarnya, prinsip-prinsip ini justru sangat fleksibel. Esensinya adalah menghormati diri sendiri dan orang lain, bukan memaksakan pakaian tradisional di setiap kesempatan.

Kita bisa saja pakai jeans dan kaus, tapi tetap memperhatikan kerapian, kesopanan, dan keberadaban. Itu pun sudah termasuk ngadi busana dalam konteks budaya Jawa modern.

*****

Ngadi salira dan ngadi busana bukan sekadar nasihat kuno atau pelajaran usang dari masa lalu. Ini adalah filosofi hidup yang bisa membantu kita menata diri, memperbaiki cara berinteraksi dengan orang lain, dan menjaga keselarasan antara hati, pikiran, dan penampilan luar.

Jadi, kalau kamu ingin tampil percaya diri dan dihormati, mulai dari merawat diri dan berpakaianlah dengan bijak. Seperti kata pepatah Jawa: "Ajining rogo saka busono, ajining diri saka lathi." – Harga diri seseorang dapat dilihat dari cara ia berpakaian dan berbicara.

Yuk, lestarikan budaya dan etika Jawa dengan menjadi pribadi yang bisa ngadi salira sekaligus ngadi busana. Bukan hanya untuk terlihat baik di mata orang lain, tapi karena kita menghargai diri sendiri dan warisan leluhur kita yang penuh kearifan.