Budaya Jawa dikenal luas dengan filosofi hidupnya yang halus, penuh tata krama, dan selalu mengedepankan keseimbangan. Salah satu ungkapan yang sangat populer dan sarat makna adalah "Ngono Ya Ngono Ning Ojo Ngono". Kalimat ini terdengar lucu bagi sebagian orang karena mengulang kata yang sama, tetapi sebenarnya mengandung nilai etika yang mendalam. Dalam konteks kebudayaan Jawa, ungkapan ini bisa dikatakan sebagai bentuk peringatan atau pengingat untuk tetap dalam batas wajar dalam bertindak, bahkan ketika seseorang merasa benar.

Menariknya, filosofi ini memiliki kemiripan dengan konsep etika yang dirumuskan oleh filsuf Yunani kuno, Aristoteles, yaitu Golden Mean atau jalan tengah emas. Bagaimana mungkin dua budaya yang sangat berbeda, yaitu Jawa dan Yunani, bisa memiliki prinsip yang sejalan? Yuk, kita bahas satu per satu dalam artikel ini!

 

Apa Maksudnya "Ngono Ya Ngono Ning Ojo Ngono"?

Ungkapan ini secara harfiah berarti: "Seperti itu ya seperti itu, tapi jangan yang seperti itu banget." Mungkin kedengaran membingungkan bagi yang baru mendengarnya. Namun, maknanya sebenarnya sederhana: kita bisa melakukan sesuatu, meski kita benar dan punya alasan, tetapi harus tetap tahu batas.

Makna Sosial dan Budaya

Ungkapan ini sering digunakan ketika seseorang bersikap terlalu ekstrem atau sudah melampaui batas kewajarannya. Misalnya, seseorang mengecam orang lain karena suatu kesalahan. Dalam budaya Jawa, boleh saja mengingatkan atau mengkritik, tapi tidak perlu sampai mempermalukan di depan umum atau menghardik dengan kasar.

Contoh lainnya, ketika seseorang sedang marah—boleh saja marah karena ada alasan kuat. Tapi ekspresi marah itu tetap harus dikendalikan. Tidak perlu membanting barang atau mengumpat seenaknya. Di sinilah pentingnya kesadaran akan batas wajar dalam bertindak.

Konsep Elusif tapi Kuat

Mengapa orang Jawa lebih suka menyampaikan sesuatu secara tidak langsung? Karena pendekatan semacam itulah yang dinilai lebih halus dan penuh pertimbangan. Filosofi "Ngono Ya Ngono Ning Ojo Ngono" justru menjadi pelajaran bagi siapapun untuk introspeksi, bukan sekadar ikut kata hati atau emosi sesaat.

 

Golden Mean dalam Filsafat Aristoteles

Kalau di Barat, Aristoteles punya konsep yang hampir mirip. Namanya Golden Mean atau dalam bahasa Indonesia bisa disebut "jalan tengah emas." Intinya, setiap kebajikan selalu berada di antara dua ekstrem. Keberanian, misalnya, adalah titik tengah antara pengecut dan nekat. Dermawan adalah tengah-tengah antara pelit dan boros.

Keseimbangan sebagai Nilai Utama

Aristoteles meyakini bahwa kebahagiaan dan kebajikan hidup akan tercapai jika seseorang mampu menempatkan dirinya pada midpoint yang seimbang dalam bertindak. Terlalu banyak maupun terlalu sedikit, dua-duanya tidak baik. Jadi, filosofi etika Aristoteles ini sebenarnya menuntut manusia untuk berpikir bijak sebelum bertindak.

Golden Mean dan Tindakan Sosial

Dalam konteks bermasyarakat, Golden Mean juga menekankan pentingnya keharmonisan, pengendalian diri, dan empati. Seorang pemimpin, misalnya, dituntut untuk tidak terlalu lemah hingga tak dihormati, tapi juga jangan otoriter hingga menekan. Mirip sekali bukan dengan semangat "ngono ya ngono ning ojo ngono"?

 

Paralel Antara Filsafat Jawa dan Aristoteles

Tidak sulit melihat kesamaan antara kedua filosofi ini. Keduanya mengedepankan keseimbangan, pengekangan diri, dan etika dalam interaksi sosial. Baik budaya Jawa maupun Aristoteles sama-sama menolak tindakan yang terlalu ekstrem.

Inti Kesamaan: Kesadaran dan Kendali Diri

  • Keduanya mengajak kita berpikir sebelum bertindak.
  • Keduanya percaya bahwa kebaikan itu tidak cukup hanya dengan niat baik, tapi juga cara yang tepat.
  • Keduanya mengajarkan arti pentingnya batas dalam berkata atau bersikap.

Berbeda Jalan, Sama Tujuan

Meski berasal dari latar belakang budaya yang sangat berbeda, konsep "ngono ya ngono ning ojo ngono" dan golden mean sama-sama mengarah pada etika sosial yang menyeimbangkan antara hak individu dan kebutuhan sosial. Orang Jawa memilih pendekatan simbolik dan halus, sementara Aristoteles memilih analisis logis dan sistematis.

 

Batas Wajar Dalam Dunia Modern

Di zaman sekarang yang serba cepat dan penuh tekanan, seringkali orang lupa akan pentingnya menjaga sikap dan kata. Media sosial menjadi tempat di mana orang merasa bebas meluapkan segala emosi tanpa filter. Padahal, budaya Jawa sejak dulu sudah mengingatkan, bahwa berkata dan bertindak itu ada batas wajarnya.

“Karena Merasa Benar, Bukan Berarti Boleh Semena-Mena”

Ungkapan ini senada dengan nilai "ngono ya ngono ning ojo ngono". Bahkan jika kita merasa berada di pihak yang benar, bukan berarti kita bebas memarahi, menyalahkan, atau mempermalukan orang lain. Ada etika bertutur, ada etika bersikap. Dan semua itu harus dalam koridor batas kewajaran.

Menjadi Pribadi yang Bijak

Menggabungkan filosofi Jawa dan prinsip golden mean Aristoteles bisa menjadi solusi untuk hidup yang lebih tenang dan harmoni. Tidak berlebihan dalam ambisi, tidak terlalu pasrah pada keadaan. Tidak terlalu keras mengkritik, tapi juga tidak diam membisu saat ketidakadilan terjadi.

*****

Hidup tidak selalu tentang benar dan salah secara mutlak. Seringkali yang lebih penting adalah bagaimana cara kita menyampaikan kebenaran, bagaimana kita mengekspresikan perasaan, dan bagaimana kita menjaga agar semua tetap dalam batas wajar. Dalam ungkapan Jawa, hal ini sudah dirangkum dengan apik lewat kalimat "Ngono Ya Ngono Ning Ojo Ngono."

Di sisi lain, filsafat Aristoteles juga menunjukkan bahwa kebijakan dan kebajikan ditemukan bukan dalam ekstrem, melainkan di tengah-tengah, di tempat yang seimbang. Inilah golden mean. Dan jika kita bisa menggabungkan kebijaksanaan lokal dan pemikiran global, maka lahirlah manusia yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijak.

Jadi, lain kali saat emosi atau semangatmu sedang membuncah, coba ingat kembali ungkapan ini: "Ngono Ya Ngono Ning Ojo Ngono." Dan tanyakan pada dirimu, "Sudahkah aku bertindak dalam batas wajar?"