Kebijaksanaan Jawa punya cara unik dalam menyampaikan nilai-nilai luhur kehidupan. Salah satu ungkapan yang punya pesan dalam dan masih relevan hingga kini adalah “Ojo Adigang, Adigung, Adiguna”. Dalam dunia budaya, filosofi, dan spiritualitas Jawa, ungkapan ini mengingatkan kita untuk lebih rendah hati dan tidak menyombongkan kekuatan, pangkat, maupun kecerdasan. Istilah ini sejalan dengan konsep humility yang banyak dibahas oleh tokoh besar Barat, salah satunya C.S. Lewis.
Melalui artikel ini, kita akan membahas filosofi Jawa dalam “Ojo Adigang, Adigung, Adiguna”, maknanya dalam kehidupan sehari-hari, dan bagaimana pesan kerendahan hati juga diajarkan dalam budaya Barat melalui pemikiran C.S. Lewis.
Apa Arti “Ojo Adigang, Adigung, Adiguna”?
Secara harfiah, ungkapan ini terdiri dari tiga kata utama:
- Adigang – menyombongkan kekuatan atau otot
- Adigung – menyombongkan pangkat atau kedudukan
- Adiguna – menyombongkan kepandaian atau kecerdasan
Kata "ojo" berarti jangan. Jadi, “Ojo Adigang, Adigung, Adiguna” bisa dimaknai sebagai jangan menyombongkan kekuatan, kekuasaan, maupun kepandaian. Dalam falsafah Jawa, tiga hal ini dianggap sebagai sumber kesombongan yang harus dihindari karena bisa menjerumuskan manusia ke dalam kehancuran dirinya sendiri dan ketidakharmonisan sosial.
Makna Filosofis dalam Budaya Jawa
Budaya Jawa sangat menjunjung tinggi prinsip sumeleh (pasrah dengan penuh kebijaksanaan), nrimo (menerima dengan lapang dada), dan andhap asor (rendah hati). Ungkapan “Ojo Adigang, Adigung, Adiguna” adalah bagian dari ajaran ini—mendorong setiap individu agar memiliki kesadaran diri dan tidak bertindak arogan meski memiliki lebih banyak kekuatan, status, atau ilmu dibanding orang lain.
Dalam kehidupan masyarakat Jawa, orang yang adiluhung (tinggi budi pekerti) bukanlah mereka yang berkuasa atau pintar semata, tetapi mereka yang bisa menempatkan dirinya dengan rendah hati, menghormati orang lain, dan tidak merasa lebih tinggi dari sesamanya.
Bahaya Kesombongan dalam Pandangan Jawa
Kesombongan dalam budaya Jawa dianggap sebagai benih kehancuran. Banyak tokoh pewayangan seperti Dasamuka (Rahwana) atau Duryudana menjadi contoh klasik dari figur yang jatuh karena adigang, adigung, dan adigunanya. Rahwana, meskipun sakti dan cerdas, jatuh karena kesombongannya. Duryudana, yang merasa lebih berhak atas takhta, juga hancur karena terlalu adigung dan merasa lebih berkuasa.
Membentuk Pribadi yang Luhur
Jadi, orang Jawa diajarkan untuk senantiasa eling lan waspada—selalu sadar diri dan waspada terhadap bisikan hawa nafsu, termasuk keinginan untuk menunjukkan kelebihan diri. Seseorang yang benar-benar bijak tidak akan memamerkan kekuatan, melainkan menggunakan itu semua untuk membawa kemanfaatan bagi lingkungan dan masyarakat sekitarnya.
Humility menurut C.S. Lewis
Salah satu kutipan paling terkenal dari C.S. Lewis berbunyi:
"True humility is not thinking less of yourself, it is thinking of yourself less."
Artinya: kerendahan hati sejati bukanlah merendahkan diri sendiri, melainkan mengalihkan perhatian dari diri kita dan lebih banyak memperhatikan orang lain. Konsep ini ternyata sangat mirip dengan nilai-nilai dalam filosofi Jawa, bukan?
Pandangan Lewis tentang Kesombongan
Dalam bukunya Mere Christianity, C.S. Lewis menyebut kesombongan sebagai dosa utama atau “the great sin”. Menurutnya, kesombongan adalah akar dari dosa-dosa lain seperti iri hati, kebencian, dan bahkan permusuhan. Seseorang yang sombong tidak akan pernah merasa puas karena ia selalu membandingkan diri dan merasa lebih baik dari orang lain.
Bagi Lewis, kerendahan hati bukan soal menjadi orang yang lemah atau tidak percaya diri, melainkan menyadari posisi diri yang sesungguhnya dan menempatkan kelebihan yang dimiliki untuk kebaikan, bukan kebanggaan pribadi.
Bertemu di Tengah: Jawa dan Barat Mengajarkan Hal yang Sama
Baik filosofi Jawa dalam “Ojo Adigang, Adigung, Adiguna” maupun pandangan C.S. Lewis tentang humility membawa pesan yang serupa: kesombongan memisahkan kita dari kebaikan, sementara kerendahan hatilah yang membawa kita pada kebijaksanaan dan kemanusiaan sejati.
Dalam dunia yang serba kompetitif ini, mudah sekali terjebak dalam “pamer” kekuatan—baik di media sosial, dunia kerja, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Kita cenderung ingin terlihat kuat, berpengaruh, dan pintar. Namun, ajaran Jawa dan pemikiran Lewis mengingatkan kita bahwa kualitas sejati bukan diukur dari apa yang kita tunjukkan, tetapi dari bagaimana kita bersikap terhadap sesama.
Contoh dalam Kehidupan Modern
- Seorang atasan yang rendah hati tidak merasa harus dihormati, tapi justru memberikan contoh kebaikan kepada bawahannya.
- Seorang guru yang hebat tidak menyombongkan ilmunya, tapi membagikannya dengan ikhlas kepada murid.
- Seorang influencer yang bijak bukan hanya mengejar popularitas, tapi memberi nilai positif bagi pengikutnya.
Bagaimana Kita Bisa Menerapkan Nilai Ini?
Menerapkan “Ojo Adigang, Adigung, Adiguna” dan konsep humility ala Lewis dalam kehidupan tidak harus dengan langkah besar. Berikut ini beberapa cara sederhana untuk memulainya:
- Sadari bahwa apapun kelebihan kita—baik kekuatan fisik, sosok pemimpin, atau kecerdasan—semuanya adalah titipan yang harus membawa manfaat, bukan untuk disombongkan.
- Latih empati dan berikan ruang kepada orang lain untuk bersinar tanpa merasa terancam.
- Berani menerima kritik dengan lapang dada tanpa defensif.
- Hindari membandingkan diri secara terus-menerus dengan orang lain di media sosial.
- Lakukan kebaikan secara diam-diam, tanpa mencari pengakuan.
Penutup: Rendah Hati Adalah Kekuatan
Dalam dunia yang sering kali menghargai kepameran, sebenarnya nilai-nilai luhur seperti “Ojo Adigang, Adigung, Adiguna” adalah oase yang menyegarkan. Pesan ini sangat relevan untuk semua generasi—mengajak kita untuk tidak hanya menjadi orang pintar, kuat, atau berkuasa, tetapi menjadi orang bijak yang tahu cara memperlakukan kekuatan itu dengan penuh tanggung jawab.
Begitu juga dengan pesan dari C.S. Lewis: kerendahan hati bukan soal menyusutkan diri, tapi memperluas hati—agar kita punya ruang untuk memahami, menghargai, dan mencintai sesama manusia.
Jadi, mari kita renungkan kembali kata bijak ini—dan mulai hari kita dengan lebih sadar diri, lebih rendah hati, dan lebih manusiawi.