Terdapat sebuah ungkapan populer yang sering diajarkan di kalangan orang Jawa secara turun-temurun: “Ojo gumunan, ojo kagetan, ojo dumeh.” Meskipun terdengar sederhana, kalimat ini sarat makna dan menjadi landasan dalam membentuk karakter pribadi yang dewasa, bijaksana, dan mampu mengendalikan diri dalam menghadapi dinamika kehidupan yang cepat berubah.
Menariknya, prinsip ini memiliki kemiripan yang mencolok dengan konsep mindfulness atau kesadaran penuh dalam ajaran Buddhis. Dalam artikel ini, mari kita telusuri lebih dalam makna dari setiap unsur ungkapan tersebut, lalu kita hubungkan dengan praktik mindfulness yang semakin populer di era modern. Siapa tahu, kita bisa menemukan cara hidup yang lebih tenang dan membumi.
Apa Arti “Ojo Gumunan, Ojo Kagetan, Ojo Dumeh”?
Ketiga frasa dalam ungkapan ini memiliki arti dan filosofi tersendiri yang membentuk karakter dasar manusia Jawa yang andhap asor (rendah hati) dan sumeleh (pasrah namun tetap berusaha). Berikut arti masing-masing:
- Ojo gumunan: Jangan mudah takjub atau terlalu mengagumi sesuatu secara berlebihan.
- Ojo kagetan: Jangan mudah terkejut atau panik terhadap berbagai perubahan atau kejadian yang mendadak.
- Ojo dumeh: Jangan sombong atau merasa lebih dari orang lain hanya karena memiliki kelebihan atau kekuasaan.
Ketiganya adalah nasihat moral yang pada dasarnya mengajarkan kita untuk berpijak pada bumi, mengendalikan emosi, dan menjaga laku hidup sederhana namun bermakna.
Menelusuri Makna Mendalam
1. Ojo Gumunan: Menyikapi Dunia dengan Kebijaksanaan
“Ojo gumunan” bisa dipahami sebagai ajakan untuk tidak mudah terpesona oleh hal-hal baru, mewah, atau luar biasa. Dunia modern menyodorkan gemerlap pencapaian dan inovasi nyaris saban hari—dari gadget terbaru hingga fenomena viral di media sosial. Dalam kondisi seperti ini, mudah sekali kita menjadi “gumunan”, terpukau sejadi-jadinya dan menjadikan sesuatu sebagai simbol kebahagiaan instan.
Namun orang Jawa percaya, ketakjuban yang berlebihan bisa membuat kita hilang pijakan. Alih-alih terhanyut, prinsip ini mengingatkan kita untuk menjaga jarak emosional dan bersikap bijak—sebuah keterampilan yang juga sangat penting dalam praktik mindfulness.
2. Ojo Kagetan: Ketahanan Psikologis dan Emosi
“Ojo kagetan” adalah peringatan untuk tidak mudah panik atau kaget ketika hidup memperlihatkan sisi tak terduga. Dalam budaya Jawa, stabilitas atau rasa tentrem (kedamaian batin) adalah nilai luhur. Maka, menjadi manusia yang tidak “kagetan” penting agar kita tidak menjadi reaktif menghadapi tekanan dan perubahan.
Konsep ini paralel dengan mindfulness, yang melatih kita untuk hadir sepenuhnya di saat ini, menerima segala sesuatu apa adanya, tanpa menghakimi atau terpancing secara emosional. Respon yang tenang, bukan reaksi yang impulsif, adalah cerminan jiwa yang matang.
3. Ojo Dumeh: Kesadaran Diri dan Kerendahan Hati
Segala pencapaian hidup, baik kekuasaan, kecerdasan, maupun kekayaan, menurut orang Jawa, jangan dijadikan alasan untuk berlaku sombong alias “dumeh” (merasa lebih). “Ojo dumeh” adalah bentuk pengendalian ego yang sejalan dengan nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan. Ketika seseorang dumeh, ia gagal melihat bahwa kelebihan itu bukan miliknya sendiri, melainkan bisa datang dan pergi kapan pun.
Prinsip ini sejajar dengan praktik non-attachment dalam Buddhisme, yaitu tidak melekat pada ego dan identitas. Mindfulness mengajarkan kita untuk menyadari kehadiran ego dan belajar melepaskannya demi kedamaian batin yang sejati.
Mindfulness dalam Perspektif Buddhis
Mindfulness secara sederhana berarti kesadaran penuh terhadap momen saat ini, baik terhadap pikiran, perasaan, maupun kondisi tubuh. Dalam Buddhisme, ini adalah bagian dari Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang menjadi panduan hidup menuju pembebasan dari penderitaan.
Ketika kita mempraktikkan mindfulness, kita tidak hanya belajar hadir di saat ini, tetapi juga mengamati segala sesuatu dengan jernih tanpa melekat pada satu kondisi pun. Ini melatih kita menjadi pribadi yang tidak gampang gumunan saat keberhasilan datang, tidak kagetan saat masalah muncul, dan tidak dumeh saat memperoleh kekuasaan.
Kesamaan Nilai antara Filosofi Jawa dan Mindfulness
Meski berasal dari latar belakang budaya dan agama yang berbeda, filosofi Jawa dan mindfulness memiliki benang merah yang sama, yaitu:
- Pengendalian diri (self-restraint)
- Pengamatan terhadap pikiran dan emosi secara jernih
- Kerendahan hati dan sikap hidup bersahaja
- Keseimbangan batin dan ketenangan dalam bertindak
Maka tidak heran, ketika mindfulness diperkenalkan dalam keseharian masyarakat Indonesia, banyak yang merasa cocok karena nilai-nilainya sudah mengakar dalam budaya lokal, termasuk filosofi Jawa ini.
Relevansi di Era Modern
Masyarakat modern dihadapkan pada banjir informasi, tekanan sosial, kompetisi, dan ekspektasi tanpa batas. Dalam situasi ini, prinsip “ojo gumunan, ojo kagetan, ojo dumeh” terasa semakin relevan. Ia bisa menjadi semacam kompas moral dan spiritual yang membimbing kita agar tidak terhanyut oleh dunia luar dan tetap terhubung dengan kedamaian batin.
Tips Mempraktikkan Prinsip Ini dalam Kehidupan Sehari-Hari
- Sadari keinginan untuk pamer: ketika ingin mem-posting sesuatu di media sosial, tanyakan pada diri sendiri: apakah ini bentuk “dumeh”?
- Latih kepekaan emosional: saat mengalami kejadian mengejutkan, tarik napas dalam, amati reaksi tubuh dan pikiran tanpa langsung bereaksi.
- Berlatih syukur dan tidak mudah terkesima: ketika melihat hal-hal hebat, kagumi dengan bijak dan sadari bahwa semua hal akan berlalu.
- Lakukan meditasi atau mindful breathing: jadikan ini rutinitas harian untuk memperkuat kesadaran dan pengendalian diri.
*****
“Ojo gumunan, ojo kagetan, ojo dumeh” bisa dianggap sebagai bentuk lokal dari mindfulness. Ia berakar dari pengalaman kolektif masyarakat Jawa yang menekankan pentingnya kesadaran, keseimbangan, dan kerendahan hati. Ketika prinsip ini diintegrasikan dengan praktik mindfulness Buddhis, kita bisa memiliki panduan yang kuat untuk menjalani hidup yang lebih sadar dan tenang di tengah riuhnya dunia digital dan modern.
Pada akhirnya, entah kamu seorang Jawa tulen atau bukan, filosofi ini tetap sangat relevan. Karena siapa pun kita, hidup ini akan selalu menguji kesadaran dan pengendalian diri. Jadi, mari kita bersama-sama belajar untuk tidak gampang gumunan, tidak mudah kagetan, dan tidak menjadi pribadi yang dumeh. Niscaya, hidup kita akan lebih damai dan bermakna.