Tradisi Jawa menyimpan segudang kearifan lokal yang tak pernah habis untuk digali, dari spiritualitas hingga cita rasa kuliner. Salah satu tradisi yang menarik untuk dibahas adalah Rebo Wekasan, sebuah upacara adat yang digelar setiap hari Rabu terakhir bulan Safar dalam kalender Hijriah. Yang unik, dalam upacara ini, hadir sebuah hidangan khas yang penuh makna—rujak jawa. Tapi, ini bukan rujak sembarangan. Ini adalah kuliner ritual yang dipercaya mampu menolak bala dan mendatangkan berkah.

 

Mengenal Rebo Wekasan: Hari Rabu nan Sakral

Rebo Wekasan berasal dari dua kata: "Rebo" (Rabu) dan "Wekasan" (terakhir). Tradisi ini diyakini sebagai momen untuk memohon keselamatan, perlindungan dari marabahaya, serta tolak bala dari segala bencana yang mungkin melanda.

Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, hari Rabu terakhir di bulan Safar adalah hari di mana banyak penyakit, bencana, dan musibah diturunkan ke bumi. Oleh karena itu, masyarakat mengadakan ritual secara kolektif agar bisa terhindar dari bahaya tersebut. Beberapa kegiatan yang umum dilakukan antara lain doa bersama, mandi kembang, dan tentu saja mempersiapkan makanan khusus seperti rujak.

 

Rujak Jawa Sebagai Kuliner Ritual

Rujak dalam konteks ini bukan sekadar makanan. Ia berubah fungsi dari semata-mata kuliner menjadi bagian dari ritual tolak bala. Rujak jawa yang disajikan saat Rebo Wekasan dibuat dengan bahan-bahan dan tata cara yang sarat makna. Dalam budaya Jawa, makanan tak hanya mengisi perut, tapi juga menjadi simbol spiritualitas dan harmoni antara manusia dan alam semesta.

Makna Filosofis Rujak Jawa

Rujak jawa umumnya terdiri dari aneka buah dan sayur seperti bengkuang, nanas, kedondong, timun, jambu air, dan ubi. Tapi yang menjadikannya unik adalah bumbu rujaknya—campuran dari gula merah, cabai, terasi, dan terkadang ditambahkan air asam dan garam.

Setiap unsur dalam rujak ini memiliki simbolisasi. Misalnya:

  • Nanas: simbol ketabahan, karena rasa asam yang menggigit tapi menyegarkan.
  • Kedondong dan bengkuang: melambangkan keteguhan dan kejernihan hati meski dalam kesulitan.
  • Cabai dalam bumbu: simbol peringatan, bahwa hidup kadang harus pedas agar kita waspada.
  • Gula merah: penyeimbang rasa, menggambarkan bahwa manisnya hidup selalu hadir menyertai pahit getirnya.

Rujak ini kemudian disantap bersama setelah dilakukan doa atau ritual tertentu. Masyarakat percaya bahwa dengan menyantap rujak ini secara bersama-sama, bala atau kesialan yang menggantung bisa “runtuh” atau larut bersama pedas-asam-manisnya rujak tersebut.

 

Ritual Kolektif: Memperkuat Solidaritas Sosial

Selain makna spiritual, Rebo Wekasan juga memperkuat solidaritas antarwarga. Biasanya, warga berkumpul di pendapa desa atau masjid untuk melakukan doa bersama (selametan) yang kemudian dilanjutkan dengan makan bersama.

Dalam beberapa daerah, seperti Yogyakarta, Demak, atau Banyumas, tradisi ini dijalankan dengan sangat khidmat. Bahkan, ada yang menyertakan prosesi kirab atau arak-arakan yang mengantar makanan simbolik seperti tumpeng dan rujak ke tempat suci atau mata air keramat yang diyakini sebagai sumber keselamatan.

Proses Pembuatan Rujak Khusus Rebo Wekasan

Rujak Rebo Wekasan biasanya dibuat secara kolektif oleh ibu-ibu di kampung. Prosesnya dimulai dari mengumpulkan bahan secara gotong royong, mengupas buah bersama, hingga menggiling bumbu dengan cobek batu besar. Semua dilakukan dengan suasana riang namun tetap sakral.

Kadang-kadang, rujak ini juga dipersembahkan terlebih dulu kepada leluhur atau roh pelindung desa, barulah dimakan bersama. Ini menunjukkan bagaimana kuliner menjadi medium komunikasi antara dunia nyata dan dunia spiritual dalam tradisi Jawa.

 

Transformasi Tradisi di Era Modern

Meski zaman telah berubah dan generasi muda mungkin mulai asing dengan makna-makna simbolik seperti ini, Rebo Wekasan dan rujak jawa masih bertahan. Sebagian masyarakat tetap menjaga tradisi ini sebagai bentuk pelestarian budaya, walau dilakukan dengan penyesuaian.

Kini, upacara Rebo Wekasan juga menjadi daya tarik wisata budaya, terutama di daerah yang masih mempertahankannya secara meriah. Banyak wisatawan domestik maupun mancanegara yang datang untuk menyaksikan langsung ritual dan menyicipi rujak khas ini. Bahkan, di media sosial, kita bisa menemukan banyak unggahan foto dan video tentang pembuatan rujak tolak bala.

Menjaga Kearifan Lewat Rasa

Rujak jawa bukan sekadar penganan lokal, tapi juga cara kita memahami hidup—bahwa ada asam, ada manis, ada pedas, dan semua berpadu dalam satu sajian yang utuh. Dalam konteks Rebo Wekasan, rujak menjadi simbol dari harapan, doa, dan ikhtiar manusia agar selamat dari bahaya dan diberi umur panjang.

Maka tak heran bila masyarakat Jawa begitu menghargai rujak dalam ritual ini. Bukan hanya karena kelezatannya yang menyatu dalam rasa, tapi juga karena nilai budaya dan spiritual yang menyertainya.

*****

Rujak jawa yang disajikan saat Rebo Wekasan membawa kita menyusuri jejak kearifan nenek moyang dalam setiap gigitan. Sebuah kuliner ritual yang mengajarkan kita untuk menyeimbangkan rasa, menjalani hidup dalam kesadaran spiritual, dan tetap terhubung dengan sesama.

Jadi, jika kamu suatu saat berada di wilayah Jawa saat Rebo Wekasan, jangan hanya datang untuk melihat. Ikutlah berdoa, duduk bersama warga, dan cicipi rujaknya. Siapa tahu, bukan hanya selamat dari bala, tapi juga lebih dekat dengan akar budaya kita sendiri.