Masyarakat Jawa mengenal ungkapan bijak yang sangat dalam maknanya: "Sepi ing pamrih, rame ing gawe", yang sering dipadukan dengan prinsip "memayu hayuning bawana". Jika diterjemahkan secara bebas, ini adalah ajakan untuk bekerja keras, tanpa mengharapkan balasan pribadi, demi memperindah (memayu) dan menjaga harmoni dunia (hayuning bawana).

Ungkapan ini bukan sekadar pepatah kuno yang ditulis dalam serat-serat budaya lama. Ia adalah manifestasi dari etika sosial masyarakat Jawa, yang mengedepankan pelayanan tanpa pamrih alias altruism. Menariknya, semangat serupa juga hidup dalam filosofi masyarakat Afrika Selatan yang dikenal dengan istilah Ubuntu. Dua budaya berbeda, dua benua yang jauh, namun menyimpan benang merah nilai luhur yang begitu serupa.

 

Apa Itu ‘Sepi Ing Pamrih, Memayu Hayuning Bawana’?

Makna Filosofis

‘Sepi ing pamrih’ berarti menekan ego pribadi, tidak mengharap imbal balik dalam bertindak. Sementara ‘memayu hayuning bawana’ adalah semangat untuk memperindah dan menjaga keharmonisan dunia. Bersama, keduanya menyerukan ajaran hidup yang tidak berorientasi pada kepentingan pribadi, melainkan demi kebaikan bersama.

Bagi masyarakat Jawa, memayu hayuning bawana merupakan bagian dari dharma, yakni kewajiban moral manusia. Ini mencerminkan keyakinan bahwa kita hidup tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk menjaga keseimbangan alam, sosial, dan spiritual.

Konteks Budaya Jawa

Konsep ini sangat kental dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, mulai dari gotong royong membangun rumah tetangga, hingga partisipasi aktif dalam kegiatan sosial dan keagamaan tanpa menuntut imbalan. Dalam seni wayang pun, tokoh seperti Semar menjadi simbol kebijaksanaan yang hidup sederhana dan selalu melayani tanpa pamrih.

 

Altruism: 'Memberi Tanpa Mengharap Kembali'

Altruism dalam Pandangan Umum

Altruism adalah sikap tidak mementingkan diri sendiri dan rela berkorban untuk orang lain. Dalam psikologi sosial, ini dikaji sebagai perilaku pro-sosial yang muncul dari empati, nilai moral, atau kewajiban sosial tertentu.

Menariknya, nilai ini bukan hanya ditemui dalam praktik moral modern, tetapi telah lama hidup dalam kebudayaan tradisional seperti Jawa. Dalam banyak kasus, nilai altruism yang ditunjukkan dalam budaya bisa lebih dalam daripada teori-teori sosial yang akademis.

Masyarakat Jawa dan Altruism

  • Gotong Royong: Masyarakat secara kolektif membantu pekerjaan besar, seperti panen atau acara hajatan, tanpa bayar.
  • Sorogan dan Ngaji di Pesantren: Santri belajar dan bekerja membantu kyai atau lingkungan pondok sebagai bentuk pengabdian tanpa kompensasi materi.
  • Peran Abdi Dalem: Melayani kerajaan tanpa gaji besar, semata-mata sebagai bentuk pengabdian dan manifestasi dari ‘rame ing gawe, sepi ing pamrih’.

 

Ubuntu: Filosofi Kemanusiaan dari Afrika Selatan

Makna Ubuntu

Ubuntu adalah filosofi Afrika yang berarti “Aku adalah karena kita”. Konsep ini mengedepankan solidaritas, kebersamaan, dan rasa saling memiliki dalam komunitas. Setiap individu dianggap tidak bisa hidup secara terpisah dari orang lain.

Terdapat banyak variasi pengucapan dan makna Ubuntu dalam bahasa-bahasa Afrika, namun intinya tetap sama: kemanusiaan yang saling terhubung. Salah satu kutipan terkenal dari Desmond Tutu menjelaskan: "My humanity is bound up in yours, for we can only be human together."

Kesesuaian Nilai dengan Konsep Jawa

Jika dilihat lebih jauh, Ubuntu memiliki korelasi yang sangat erat dengan prinsip ‘memayu hayuning bawana’. Keduanya tidak menitikberatkan pada ego dan kepentingan pribadi, melainkan pada kesejahteraan kolektif dan harmoni sosial.

Dalam Ubuntu, seseorang dianggap ‘manusia sejati’ hanya jika ia mampu mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan lewat tindakannya. Ini serupa dengan prinsip dalam budaya Jawa bahwa martabat seseorang terletak pada kemampuannya untuk mengabdi dan memperbaiki lingkungan hidupnya, bukan sekadar titel atau harta benda.

 

Pelayanan Tanpa Pamrih di Era Modern

Menghidupkan Kembali Nilai Budaya

Di tengah modernisasi dan arus konsumerisme, nilai ‘Sepi ing pamrih, memayu hayuning bawana’ serta Ubuntu menjadi semakin relevan. Dunia kita saat ini dihadapkan pada krisis lingkungan, konflik sosial, dan kehilangan solidaritas. Kita butuh kembali pada nilai-nilai kemanusiaan yang tidak egoistis.

Dalam lingkungan kerja, pelayanan tanpa pamrih dapat membantu membangun budaya organisasi yang sehat. Dalam keluarga, nilai ini bisa melahirkan generasi yang punya empati tinggi. Di masyarakat, semangat kolektivitas dan gotong royong akan menjadi penangkal disintegrasi sosial.

Bukan Tidak Punya Ambisi, Tapi Ambisi untuk Kebaikan Bersama

‘Sepi ing pamrih’ tidak berarti tak punya cita-cita. Justru, ini bentuk ambisi yang lebih mulia: ingin melihat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Ini selaras dengan Ubuntu—dimana kepuasan terbesar hadir saat orang di sekitar kita bahagia, aman, dan sejahtera.

 

Menyatukan Kearifan Lokal dan Global

Menarik ketika kita menyadari bahwa dua budaya yang terpisah ribuan kilometer—Jawa dan Afrika—memiliki filosofi hidup yang serupa. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai luhur seperti altruism, solidaritas, dan pelayanan tanpa pamrih adalah bagian dari identitas manusia universal.

Dengan menyatukan kearifan lokal seperti memayu hayuning bawana dan filosofi global seperti Ubuntu, kita sedang membangun jembatan kemanusiaan yang kokoh. Kita diajak untuk tidak melihat diri sebagai pusat segalanya, melainkan bagian dari jaringan kehidupan yang saling terkait.

*****

Di akhir hari, kita semua bertanya-tanya: untuk apa kita hidup? Jika jawabanmu adalah “untuk melayani, memperindah dunia, dan berbagi dengan tulus,” maka kamu telah mempraktikkan ajaran luhur dari leluhur Jawa maupun pemuka moralitas Afrika.

‘Sepi ing pamrih, memayu hayuning bawana’ bukan hanya slogan—ini adalah way of life. Dengan merangkul nilai-nilai ini, kita tidak hanya memuliakan budaya kita, tapi juga bergandengan tangan dalam semangat humanisme global seperti Ubuntu.

Karena kita tidak hidup sendirian, dan dunia ini menjadi lebih indah jika kita merawatnya bersama.