Dalam budaya Jawa, banyak pepatah dan ungkapan sarat makna yang membentuk nilai serta etika hidup sehari-hari. Salah satunya adalah “Sing sapa temen bakal tinemu.” Ungkapan ini sederhana, tapi menyimpan kebijaksanaan mendalam—terutama jika kita melihatnya dari perspektif kejujuran dan teori etika kebajikan seperti yang diungkapkan oleh Aristoteles. Lalu, bagaimana sebenarnya makna ungkapan ini, dan bagaimana ia bisa berkaitan dengan pemikiran Barat soal etika? Yuk, kita selami bersama!

 

Makna Ungkapan “Sing Sapa Temen Bakal Tinemu”

Secara harfiah, ungkapan ini dapat diterjemahkan sebagai “Siapa yang bersungguh-sungguh (temen), pasti akan menemukan (tinemu).” Tapi dalam pemahaman budaya Jawa, kata “temen” bukan hanya berarti sungguh-sungguh, melainkan juga jujur, tulus, dan lurus hati.

Dengan begitu, pepatah ini mengandung pesan bahwa orang yang hidup dengan kejujuran dan ketulusan akan memperoleh hasil yang baik pada waktunya. Ini bukan hanya soal hasil duniawi (seperti rejeki atau kedudukan), tapi juga tentang rasa damai, welas asih, dan harga diri yang tinggi di mata masyarakat maupun batin sendiri.

 

Kejujuran dalam Budaya Jawa

Dalam dunia orang Jawa, kejujuran bukan sekadar sikap moral biasa. Ia adalah bagian dari laku hidup, atau sering disebut laku prihatin, yakni cara seseorang menjaga perilaku, batin, dan ucapan agar selaras dengan nilai-nilai luhur.

Konsep Sumeleh dan Nerima

Nilai kejujuran juga bersinggungan erat dengan konsep sumeleh (berserah) dan nerima (menerima dengan ikhlas). Orang Jawa yang jujur, meskipun tidak segera memperoleh hasil, akan tetap teguh dalam pendirian karena percaya bahwa “bakal tinemu”—pada waktunya, hasil akan datang. Bukan karena pamrih, tetapi karena kesadaran bahwa hidup ini punya hukum keseimbangan.

Jujur Bukan Berarti Lugas

Menariknya, dalam budaya Jawa, kejujuran tidak selalu diekspresikan secara frontal. Masyarakat Jawa dikenal halus dan penuh tata krama. Bukan berarti mereka tidak jujur, tetapi kejujuran disampaikan melalui cara yang bijaksana dan mempertimbangkan rasa orang lain. Di sinilah letak keunikan etika Jawa: jujur, namun tetap njaga rasa.

 

Aristoteles dan Etika Kebajikan (Virtue Ethics)

Aristoteles, filsuf Yunani Kuno, memiliki pandangan unik tentang etika. Tidak seperti Immanuel Kant yang menekankan kewajiban, atau utilitarianisme yang fokus pada akibat, Aristoteles justru menekankan karakter dan kebiasaan sebagai kunci etika. Inilah yang disebut virtue ethics atau etika kebajikan.

Menjadi Baik Lewat Kebiasaan Baik

Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles menulis bahwa manusia menjadi baik bukan karena tahu apa yang benar, melainkan karena membiasakan diri melakukan hal baik. Keutamaan moral seperti kejujuran, kedermawanan, dan keberanian tidak datang secara instan, tapi perlu dilatih terus-menerus agar menjadi bagian dari karakter kita.

Bagi Aristoteles, keutamaan terletak di antara dua ekstrem. Kejujuran, misalnya, berada di tengah antara kejujuran yang menyakitkan (tanpa empati) dan kebohongan demi rasa nyaman. Dengan kata lain, jujur itu baik, tetapi harus dilakukan dengan cara yang bijak.

 

Persinggungan Etika Aristoteles dan Budaya Jawa

Meskipun berasal dari dua dunia yang sangat berbeda—Yunani Kuno dan Jawa—ternyata ada benang merah antara virtue ethics Aristoteles dan pepatah “sing sapa temen bakal tinemu.” Keduanya sama-sama menekankan pentingnya karakter dan konsistensi perilaku dalam mencapai kehidupan yang baik.

Kejujuran sebagai Jalan, Bukan Tujuan Sementara

Dalam kedua sistem, kejujuran bukan sekadar alat untuk mencapai hasil, tapi nilai itu sendiri. Orang jujur tidak hanya bertindak jujur bila ada untungnya, tetapi karena jujur adalah bagian dari siapa dirinya.

Bagi orang Jawa, kejujuran adalah bagian dari laku spiritual menuju keselarasan batin dan alam. Sementara bagi Aristoteles, kejujuran adalah bagian dari proses menuju eudaimonia—yakni hidup yang penuh makna dan kebahagiaan sejati. Di sinilah keduanya bertemu: etika sebagai pembentukan diri.

Kebiasaan dan Ketulusan Hati

Kata “temen” dalam filosofi Jawa bukan hanya “jujur” dalam arti harfiah, tapi juga mengandung makna konsistensi dalam laku dan batin. Ini sejalan dengan pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa kebajikan adalah kebiasaan, bukan cuma tindakan sesaat. Orang yang jujur karena sudah terbiasa jujur itulah yang dianggap memiliki karakter baik.

 

Mengapa “Temen” Itu Semakin Langka di Zaman Sekarang?

Di era serbadigital seperti sekarang ini, segala hal bergerak cepat—termasuk cara orang meraih keuntungan. Sayangnya, kejujuran kadang dikorbankan demi hasil instan. Banyak orang lebih memilih jalan pintas daripada proses panjang yang jujur dan tulus. Hal ini membuat filosofi seperti “sing sapa temen bakal tinemu” seolah tersisihkan.

  • Kejujuran dianggap lambat mendatangkan hasil.
  • Persaingan membuat orang tergoda untuk berbohong.
  • Nilai luhur kalah oleh pragmatisme.

Padahal, jika kita renungkan lagi, keberhasilan sejati justru datang pada mereka yang terus menanam benih kebaikan tanpa pamrih. Dalam jangka panjang, integritas lebih tahan lama daripada sekadar popularitas atau kesuksesan instan.

 

Belajar dari Leluhur: Menghidupkan Kembali “Temen”

Pepatah Jawa ini sesungguhnya ingin mengingatkan kita untuk tidak putus asa dalam menjalani hidup dengan kejujuran, ketulusan, dan konsistensi. Meskipun tantangan besar menghadang, tetaplah jadi pribadi yang temen.

Kita bisa mulai dari hal kecil:

  • Menyampaikan kebenaran meski sulit
  • Tidak memanipulasi informasi di media sosial
  • Menepati janji meskipun tidak diawasi
  • Belajar berkata “tidak tahu” daripada pura-pura tahu
  • Membangun reputasi yang bisa dipercaya

Dengan membiasakan kelakuan baik, kejujuran pun menjadi bagian dari karakter kita. Sebagaimana teori etika Aristoteles, kebajikan adalah soal kebiasaan, dan bukan hal instan.

*****

“Sing sapa temen bakal tinemu” adalah filosofi Jawa yang menekankan pentingnya kejujuran dan ketulusan dalam laku hidup. Dalam konteks etika Aristoteles, ungkapan ini sangat sejalan dengan konsep kebajikan sebagai hasil dari pembiasaan karakter yang baik. Di tengah dunia yang makin pragmatis, pesan ini menjadi pengingat penting: bahwa hidup jujur mungkin tidak selalu cepat menghasilkan, tapi pasti akan memberikan hasil yang bermakna dan abadi.

Jadi, apakah kamu sudah siap untuk menjadi pribadi yang temen? Ingat, hasil pasti akan tinemu.