Pernahkah kamu mendengar istilah "unggah-ungguh" dalam budaya Jawa? Bagi orang Jawa, unggah-ungguh bukan sekadar aturan atau tata bicara, melainkan cerminan kesopanan, penghormatan, dan tata krama dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bahasa Jawa, sistem ini tercermin dalam berbagai tingkatan bahasa yang digunakan sesuai dengan siapa lawan bicaranya. Artikel ini akan mengajak kamu untuk memahami lebih dalam tentang unggah-ungguh dalam bahasa Jawa, lengkap dengan tingkatan bahasanya serta makna kesopanan yang terkandung di dalamnya.
Apa Itu Unggah-Ungguh?
Unggah-ungguh adalah istilah dalam bahasa Jawa yang merujuk pada norma serta aturan tidak tertulis dalam berperilaku dan berbahasa kepada orang lain. Dalam konteks bahasa, unggah-ungguh mencakup penggunaan ragam bahasa yang berbeda-beda tergantung kepada siapa kita berbicara. Konsep ini erat kaitannya dengan rasa hormat, hierarki sosial, dan tata krama dalam masyarakat Jawa.
Unggah-ungguh dalam berbicara menjadi wujud utama dari budaya kesopanan yang dipegang teguh oleh masyarakat Jawa. Seseorang dianggap memiliki budi pekerti yang baik jika mampu menggunakan bahasa Jawa sesuai dengan situasi dan lawan bicaranya. Karenanya, memahami unggah-ungguh adalah kunci untuk memahami nilai-nilai sosial yang dijunjung dalam budaya Jawa.
Ragam Tingkatan Bahasa Jawa
Bahasa Jawa memiliki tiga tingkat atau register utama yang digunakan sesuai dengan situasi dan status sosial lawan bicara. Ketiganya adalah basa ngoko, basa madya, dan basa krama. Masing-masing memiliki kosakata dan struktur kalimat yang berbeda. Mari kita bahas satu per satu.
1. Basa Ngoko
Basa ngoko adalah tingkatan bahasa yang paling sederhana dan kasual. Digunakan dalam percakapan sehari-hari antara teman sebaya, keluarga dekat, atau kepada orang yang lebih muda. Dalam basa ngoko, tidak diperlukan keberhati-hatian dalam memilih kata karena konteksnya santai dan akrab.
Contoh kalimat dalam basa ngoko:
- Kowe arep lunga neng ngendi? (Kamu mau pergi ke mana?)
- Aku durung mangan. (Saya belum makan.)
Meskipun terkesan sederhana, penggunaan basa ngoko tidak boleh disalahgunakan, terutama kepada orang yang lebih tua atau yang statusnya lebih tinggi. Oleh karena itu, penting untuk memahami konteks dan hubungan sosial sebelum menggunakan basa ngoko.
2. Basa Madya
Basa madya berada di antara basa ngoko dan krama. Digunakan dalam situasi semi-formal seperti berbicara dengan orang yang tidak terlalu akrab, namun juga tidak terlalu resmi. Basa madya digunakan ketika terdapat keraguan dalam memilih antara ngoko dan krama, sehingga menjadi jalan tengah yang sopan namun tidak terlalu kaku.
Contoh kalimat dalam basa madya:
- Panjenengan arep tindak pundi? (Anda mau pergi ke mana?)
- Kula dereng dhahar. (Saya belum makan.)
Kemampuan menggunakan basa madya dengan tepat menunjukkan kepekaan sosial seseorang dan sering digunakan oleh orang Jawa dalam percakapan sehari-hari dengan orang yang baru dikenal atau yang demografinya tidak terlalu jauh berbeda.
3. Basa Krama
Basa krama adalah tingkat bahasa yang paling halus dan sopan dalam bahasa Jawa. Digunakan untuk berbicara kepada orang yang lebih tua, orang yang dihormati, atau dalam situasi resmi dan formal seperti pidato atau acara adat. Penggunaan basa krama mencerminkan rasa hormat dan tata krama yang tinggi kepada lawan bicara.
Contoh kalimat dalam basa krama:
- Pinten kalih panjenengan badhe dhateng pundi? (Kemana Anda hendak pergi?)
- Kula dereng nedha. (Saya belum makan.)
Basa krama sering diajarkan dalam lingkungan keluarga dan pendidikan sejak dini agar anak-anak terbiasa dengan tata krama yang baik. Namun, karena kompleksitas kosakatanya, tidak semua orang bisa langsung mahir menggunakan basa krama tanpa belajar secara konsisten.
Makna Kesopanan dalam Unggah-Ungguh
Lebih dari sekadar aturan berbahasa, unggah-ungguh adalah media untuk menunjukkan sikap hormat, kerendahan hati, dan penghargaan terhadap orang lain. Dalam budaya Jawa, sikap sopan tidak hanya ditunjukkan melalui perbuatan, tapi juga lewat pilihan kata dan gaya berbicara.
Kesopanan dalam unggah-ungguh terwujud dalam beberapa aspek:
- Menyesuaikan bahasa dengan lawan bicara berdasarkan usia, status sosial, atau tingkat keakraban.
- Berbicara dengan lembut, tidak meninggikan suara, terutama kepada orang yang lebih tua atau dihormati.
- Menghindari bahasa yang kasar atau menyakiti perasaan.
- Berempati dan menyimak lawan bicara saat berdialog.
Melalui bahasa, seseorang bisa menunjukkan nilai-nilai luhur seperti andhap asor (rendah hati), tepa salira (toleran), dan ngajeni (menghormati). Selaras dengan filosofi hidup orang Jawa yang mengutamakan harmoni dan ketentraman dalam bersosialisasi.
Tantangan Zaman Modern: Perlukah Unggah-Ungguh Dilestarikan?
Seiring dengan berkembangnya zaman dan semakin globalnya pergaulan, banyak orang muda Jawa mulai merasa kesulitan atau enggan menggunakan tingkatan bahasa yang kompleks ini. Bahasa Indonesia dan bahasa asing menjadi lebih dominan, sementara penggunaan basa krama cenderung menurun.
Meski demikian, banyak pihak percaya bahwa unggah-ungguh tetap relevan dan penting untuk dilestarikan. Tidak hanya sebagai bagian dari warisan budaya leluhur, tetapi juga karena nilainya yang universal: kesopanan, rasa hormat, dan tata krama adalah hal yang dibutuhkan dalam masyarakat mana pun.
Upaya pelestarian unggah-ungguh kini dilakukan melalui pendidikan budaya lokal di sekolah-sekolah, komunitas pelestari bahasa, hingga media sosial yang mengangkat konten edukatif seputar bahasa Jawa. Generasi muda pun semakin sadar bahwa menggunakan unggah-ungguh tidak membuat mereka ketinggalan zaman, justru menunjukkan bahwa mereka memiliki akar nilai budaya yang kuat.
*****
Unggah-ungguh dalam bahasa Jawa adalah cerminan nilai sopan santun, tata krama, dan kepekaan sosial yang tinggi. Melalui tingkatan bahasa seperti basa ngoko, madya, dan krama, masyarakat Jawa mengekspresikan rasa hormat kepada sesama. Meskipun tantangan zaman modern membuat unggah-ungguh mulai jarang digunakan, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tetap relevan untuk kehidupan sosial saat ini.
Jadi, mari kita lestarikan unggah-ungguh bukan hanya sebagai bentuk bahasa, tetapi sebagai nilai luhur yang bisa memperkaya kepribadian dan hubungan antar manusia di tengah masyarakat yang majemuk ini.