Dalam kehidupan masyarakat Jawa, kita sering mendengar ungkapan “urip ibarat mampir ngombe” — hidup itu ibarat mampir minum. Ungkapan ini begitu singkat, namun menyimpan filosofi hidup yang sangat dalam. Ia berbicara tentang kesementaraan, ketenangan batin, dan pentingnya menjalani hidup tanpa terlalu melekat pada hal-hal duniawi.
Menariknya, pandangan serupa juga muncul dalam Stoicism (stoikisme), filosofi kuno dari Yunani dan Romawi. Dalam artikel ini, kita akan menyelami makna “urip ibarat mampir ngombe” dalam budaya Jawa, lalu menelusuri kesamaan nilai-nilainya dengan ajaran kaum Stoik seperti Marcus Aurelius dan Epictetus. Siapa sangka, dua pandangan hidup yang berjauhan secara geografis ternyata bisa begitu serupa dalam menyikapi kenyataan: bahwa hidup ini sementara dan kita perlu bijak menjalaninya.
Makna Filosofis "Urip Ibarat Mampir Ngombe"
Dalam budaya Jawa, banyak falsafah yang diwariskan secara turun-temurun melalui tembang, pepatah, dan pitutur luhur. Salah satunya adalah “urip mung mampir ngombe.” Sekilas terdengar sederhana, tapi jika direnungkan dalam-dalam, ungkapan ini mengajak kita untuk memandang hidup sebagai perjalanan singkat, persis seperti orang yang berhenti sebentar untuk minum dalam perjalanan panjang.
Kesederhanaan dalam Hidup
Orang Jawa diajarkan untuk tidak serakah, tidak rakus terhadap dunia. Hidup adalah persinggahan. Layaknya musafir yang sedang dalam perjalanan, manusia tak seharusnya membangun rumah megah di tempat persinggahan. Filosofi ini mengajarkan bahwa kesenangan dunia bukanlah tujuan utama. Maka, penting untuk selalu mawas diri dan menjalani hidup dengan penuh kesadaran.
- Tidak terlalu ngoyo (ngotot) dalam mengejar kekayaan
- Menerima nasib dengan legawa
- Menjaga harmoni agar hidup penuh ketenteraman
Prinsip “urip mung mampir ngombe” membantu masyarakat Jawa untuk bersikap legawa terhadap kehilangan, kegagalan, dan kematian. Ketika hidup hanya sebatas "mampir untuk minum", maka tidak perlu terlalu ‘dramatis’ terhadap berbagai peristiwa kehidupan. Ia datang, dan ia akan pergi.
Stoikisme: Jalan Hidup Damai ala Filsuf Barat
Di sisi Barat, Stoikisme atau Stoicism menawarkan konsep filosofis yang kurang lebih selaras. Ajaran ini berkembang pada abad ke-3 SM di Yunani, dan mencapai puncaknya pada masa Kekaisaran Romawi. Tokoh-tokohnya seperti Marcus Aurelius, Seneca, dan Epictetus menekankan pentingnya reason (akal sehat), virtue (kebajikan), dan penerimaan terhadap hal-hal yang berada di luar kendali kita.
Memento Mori dan Hidup Sementara
Dalam Stoikisme, dikenal konsep memento mori — ingatlah bahwa engkau akan mati. Konsep ini bukan untuk menghantui atau menakut-nakuti, tapi justru mengajak manusia hidup dengan lebih sadar dan bermakna. Kita tidak tahu kapan ajal tiba, maka setiap hari harus dimaknai dengan bijaksana.
Pandangan ini sangat mirip dengan filosofi Jawa. Jika dalam Jawa kita diajak untuk menyadari bahwa hidup ibarat mampir minum, maka dalam Stoikisme, kita diajak untuk bertindak seolah-olah hari ini bisa jadi hari terakhir kita. Dalam Meditations, Marcus Aurelius menulis:
“You could leave life right now. Let that determine what you do and say and think.” — Marcus Aurelius
Ini artinya: bisa saja kita meninggal detik ini juga. Maka biarlah kesadaran itu menjadi penentu apa yang kita katakan, pikirkan, dan lakukan.
Kesamaan Nilai antara Filosofi Jawa dan Stoikisme
Jika diperhatikan, baik filosofi Jawa maupun Stoikisme sama-sama berangkat dari kesadaran akan ketidakkekalan hidup dan pentingnya hidup dengan tenang serta berkebajikan. Berikut ini beberapa nilai yang sejalan antara keduanya:
- Kesadaran akan kematian: "Urip mung mampir ngombe" dan "memento mori" sama-sama mengingatkan bahwa hidup itu sebentar dan tak pasti.
- Penerimaan terhadap takdir: Dalam Jawa disebut nrimo, dalam Stoik disebut amor fati—cinta terhadap takdir.
- Menjaga emosi: Orang Jawa diajarkan untuk ‘eling lan waspada’, berhati-hati dalam bertindak, mirip dengan ajaran Stoik untuk tidak dikendalikan emosi negatif seperti marah, takut atau iri hati.
- Kesederhanaan: Baik dalam hidup, gaya bicara, maupun berpakaian—kesederhanaan dianggap sebagai bentuk kecerdasan jiwa.
Hidup yang Arif: Menggabungkan Kearifan Timur dan Barat
Di zaman yang serba cepat dan penuh tekanan ini, menggabungkan filosofi Jawa dan Stoikisme bisa menjadi penawar batin. Dari Jawa, kita belajar kelembutan dan harmoni. Dari Stoic, kita belajar daya tahan dan keteguhan hati. Keduanya membantu kita untuk tetap berpijak di tengah gelombang kehidupan.
Tips Praktis Menjalani Hidup dengan Filosofi Jawa dan Stoik
- Meditasi atau semedi: Luangkan waktu untuk merenung tentang hakikat hidup dan kematian, seperti dilakukan para leluhur Jawa atau kaum Stoik.
- Jalani hidup secukupnya: Tidak usah berlebihan dalam mengejar materi. Nikmati setiap proses.
- Latih kesadaran diri: Sadari emosi yang muncul dalam diri, kendalikan reaksi kita terhadap dunia luar.
- Terima ketidaksempurnaan: Baik Stoik maupun Jawa mengajarkan pentingnya menerima kenyataan dengan lapang dada.
Baik sebagai anak bangsa maupun warga dunia, kita memiliki kekayaan budaya dan filsafat yang luar biasa. Tidak perlu menjadi biksu, pertapa, atau filsuf untuk menerapkannya. Cukup dengan hidup lebih tenang, bersyukur, dan menerima segala alur kehidupan—seperti orang yang minum sebentar, sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke asal.
Penutup: Kembali ke "Mampir Ngombe"
Pada akhirnya, hidup adalah perjalanan. Sebentar atawa lama, tidak ada yang benar-benar tahu. “Urip ibarat mampir ngombe” bukan ajakan untuk pasrah tanpa usaha, tapi sebuah panggilan untuk hidup dengan sadar dan bijaksana. Bila hidup hanyalah singgah sejenak untuk minum, maka mari kita nikmati tegukan itu dengan penuh syukur—tanpa tergesa, tanpa serakah, dan dengan kewaspadaan.
Sebab seperti kata Pepatah Jawa, "Sing sapa urip mung golek donya, bakal kélangan roso," — siapa yang hidup hanya mengejar dunia, akan kehilangan rasa. Itulah mengapa manusia perlu kembali pada rasa — rasa ngerti, rasa ngerti marang kodrat urip. Bahwa kita semua hanya mampir ngombe.